Tenggelamnya Surya di Lautan Ego
- Oktober 30, 2024
- by
- Intan
Baginya, pagi tetaplah pagi, saatnya berangkat sekolah, naik angkot, dan membuat matahari cemburu dengan semangat yang membara. Waktunya bangun dari mimpi dan mewujudkannya. Mau tidak mau, ia harus menghadapi ketakutan akan ketidakpastian masa depan. Pagi takkan pernah berubah seperti hidupnya yang monoton. Pengecualian hari ini. Bukan cuma langit dan awan, pelangi tumben ikut menyambut awal harinya, sepertinya sisa dari badai lebat semalam. Betul kalau orang bilang, “Nikmatilah hujanmu. Maka, pelangimu akan datang.”
Dari jendela angkot, Surya, lelaki yang sedari kecil terinspirasi oleh alam dan pelangi adalah salah satunya, memandang ciptaan Tuhan Yang Maha Agung itu. Sungguh terlihat memesona dan tak pernah gagal mengukir senyum di bibir setiap orang. Sementara dirinya, yang masih setia di jalan raya bersama kemacetan ibukota, bertanya dalam hati, “Bukankah pelangi indah karena warna yang beraneka ragam?”
Intinya, keindahan adalah kesatuan dalam keberagaman, bukan keseragaman. Pun kita manusia. Sejatinya ditakdirkan beragam ras. Itu mutlak dan tak dapat diganggu gugat adanya. Namun, bukan berarti boleh semena bertindak terhadap yang tidak terikat kuasa Tuhan. Hal tersebut mengusik angan tentang kedamaian Surya, keresahan atas orang dewasa yang terus memaksakan kehendak kepada yang lain, khususnya terhadap perbedaan keinginan dan definisi sukses setiap insan. Dia paling benci sifat itu, betapa egois dan hati mereka, pastilah terbuat dari batu sebab saking kerasnya, pikir Surya. Kenyataan bahwa papa dan mamanya termasuk salah dari mereka, itu yang paling menyedihkan hati lugunya.
“Kamu nggak usah ambil sastra, apalagi Sastra Indonesia. Mendingan Akuntansi, Kedokteran, atau Hukum. Pokoknya jangan sastra. Susah cari kerjanya.” Setiap sarapan pagi, mamanya selalu berkata demikian. “Dulu di umurmu, Mama juga naif kayak begini. Bersyukurlah setidaknya ada Mama sama Papa yang arahin kamu. Dengerin kata orang tua dan suatu saat nanti, kamu akan berterima kasih sama Mama dan Papa.”
Kemudian papanya, yang selalu memandang rumput tetangga lebih hijau, menyambung, “Anaknya Om Firman, dia ambil jurusan hukum dan sekarang sukses sebagai kepala notaris. Kamu nggak mau ikutin jejaknya?”
Sejak setahun lalu, meja makan telah beralih fungsi menjadi ruang pengadilan, meributkan rencana masa depan anak semata wayang itu. Bukannya Surya bingung dengan mimpinya. Malahan, Surya sering kali membawa pulang juara. Namun sepertinya, prestasi-prestasi ini terlalu kecil dan saking kecilnya, Mama dan Papa tak bisa melihatnya, bahkan meliriknya, pikir Surya.
Makanya, mereka merencanakannya sendiri. Sayangnya, Surya cuma jadi pengamat yang membisu seribu bahasa. Dia bukan tuna rungu wicara. Tidak pula kehabisan kalimat untuk menanggapi segalanya. Lagi pula, tidak mesti dari lidah. Daripada hanya akan terjebak dalam perdebatan yang tiada akhirnya, ada kala diam jugalah jawaban. Tidak, bukan jawaban sepakat. Namun, jawaban paling lelah dari seseorang ketika kehilangan kesempatan bicara dan kata-kata tak lagi bermakna. Maksudnya, seberapa panjang yang disuarakannya, apakah akan didengar?
Alih-alih begitu, adanya justru pemantik pertengkaran. Ujung-ujungnya pasti berdebat, tapi kini, Surya tidak lagi. Apalah arti berdebat jikalau tidak menghargai pendapat. Sebelum memutuskan mengunci bibir rapat-rapat, ia telah membuang habis seluruh ego bersama unek-unek yang terakhir kalinya,
“Ma, Pa, bagaimana ujungnya nanti, aku enggak tahu. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa, apalagi sebuah keberhasilan menjadi guru dan penulis apabila definisi sukses adalah menghasilkan banyak uang dan mengangkat derajat keluarga seperti yang dimau. Selama mampu, akan kucoba dan terus berusaha, tapi kalau tanpa restu Mama dan Papa, hakku apa? Sebagai anak, gak mungkin aku melawan orang tua, bukan begitu?”
Malam berganti dan terbitlah Surya yang kehilangan sinarnya. Cahayanya lenyap ditelan waktu. Hal tersebut berdampak kepada hari esok yang gelap. Sekarang, remaja dengan mimpi sederhananya itu menjelma seseorang yang kebingungan arah dan akhirnya memilih ikut air yang mengalir. Bangun tidur, terus mandi, dan sebelum berangkat sekolah, tidak lupa sarapan ceramah mama. Namun, tak lagi Surya memprotes mereka, meskipun sebetulnya, dia bukan tipe penahan diri. Di samping takut menyakiti hati orang tua dan membuatnya dikutuk menjadi batu seperti Malin Kundang si Anak Durhaka, hanya saja, meluapkan emosi memanglah sangat melegakan, tapi selanjutnya?
Makanya, Surya percaya bahwa, diam mampu membuat diri terhindar dari segudang masalah. Sayang beribu sayang, satu yang lupa digarisbawahinya: menghindar bukanlah menyelesaikan masalah. Bukan Surya berniat abai, dirinya hanya butuh waktu untuk berdamai, menerima kenyataan tanpa menyalahkan keadaan karena hidup adalah keresahan masing-masing. Hingga akhirnya, ia tidak sadar telah terlalu lama mengabaikan persoalan dan mulai akrab dengan prinsip ikut arus air—daripada melawan ketentuan yang mengantarkan kepada kesedihan.
Jadilah Surya yang lebih mendengarkan kebisingan dunia dibanding nurani sendiri. Sekarang, cuma kemonotonan yang ada. Bosan? Masihkah perlu bertanya? Tiada pagi tanpa menggendong harapan orang tua di pundak dan membawanya ke sekolah. Selalu seperti itu dan tak pernah terlewat, pun hari ini, sekalipun adalah ulang tahunnya. Mereka bahkan lupa.
“Selamat ulang tahun Surya, tapi di umur yang ke delapan belas ini, kenapa tidak bernegosiasi?” Begitulah tanya Maria, teman sebangkunya, menanggapi Surya yang langsung bertukar cerita setiba di sekolah. Boleh dikata, mereka lebih dari teman—sahabat, bukan pacar.
Tak tanpa alasan Surya menaruh percaya padanya. Mungkin, kamu pernah dengar ini. Bahwa obat lelah tidak melulu harus berhenti sejenak, tapi boleh jadi berwujud seseorang bersama telinga yang sedia mendengar tanpa menyela dan hati yang pandai mengerti, bukannya malah menghakimi. Buat Surya, itu Maria.
Herannya pikir Surya, tak kira sudah berapa banyak keluh kesah yang sama berulang kali, Maria belum pernah bosan membuka telinganya dan sampai sekarang, ia masih begitu. Surya menjulukinya Kopi dari Timur. Maria asli Papua. Namun, ini bukan tentang rasnya. Melainkan, sebagaimana kopi, minuman kesukaan Surya, yang menghangatkan hati lewat kesetiaannya mendengar cerita pagi hari. Ia juga mampu memberi ruang meski selalu menemani. Sederhananya, peduli tanpa terlalu mencampuri. Itulah Maria dan Surya sangat mencintainya, sebagai sahabat.
Maka, dianggapnya sangat sebarang bilamana orang berkata miring tentang sahabatnya. Surya siap pasang badan. Ia dan sahabatnya memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama manusia dan punya hak asasi. Perkara perbedaan ras, agama, atau bahkan dialek, mereka lupa bahwa lidah ibarat api, dapat menghangatkan, tapi juga menghanguskan. Mulutmu memang harimaumu, tapi kata-kata adalah senjata dan orang lain bisa terluka karenanya.
Dibersamakan oleh sosoknya, kehadirannya, itu lebih dari cukup. Namun, cukup sampai situ. Jangan lebih dari itu. Jangan membuatnya khawatir, pikir Surya. Akhirnya, pertanyaan Maria tadi, Surya hanya menjawab dalam hati. Tentang cita yang ditentang, kenapa tak bernegosiasi? Sudah, sudah kulakukan, tapi tidak kunjung jumpa kesepakatan karena terbentur perbedaan. Jadi, apakah mimpiku berujung pada kekecewaan?
“Kamu gapapa?” tanya Maria. Dan Surya pun sama, menanyakan kewarasannya sendiri. Mendapati Surya hanya diam, Maria melanjutkan, “Kalau terus begini, nggak sehat loh. Kalau mau sehat, harusnya lari pagi, bukannya malah lari dari kenyataan.”
Surya terkekeh. “Aku diam bukan berarti pasrah, tapi lagi seriawan.”
Langsung Maria tertawa. Tertawanya serius, sampai tubuhnya terguncang-guncang dan menularkannya pada Surya. Pecahlah gelak dua kawan seperjuangan itu. Satu lagi yang Surya sukai dari Maria. Sahabatnya ini sungguh murah hatinya. Bagaimana tidak, tawanya sudi ditukar dengan lelucon garing yang tak seberapa lucunya. Dan, dia bukan menertawakannya, tapi tertawa bersamanya. Bahagia, di titik ini semakin jelas: tak melulu milik orang yang banyak kesamaan, tapi mereka yang pengertian terhadap setiap perbedaan.
Andai sesederhana itu, pikirnya. Surya merenung sampai termenung sepanjang perjalanan pulang dalam angkot yang dinaikinya. Ia duduk di samping seorang kakek tua yang sedang mengantuk. Ingin sekali ikut tidur juga, supaya tidak memikirkan banyak hal, tapi sulit. Karena di angkot itu tak ada penumpag lain selain ia dan kakek tua yang tertidur, ia menggumam,
“Andai dunia tak sekejam itu, maka Mama dan Papa takkan mendidik keras sejak awal hingga aku mau ambil jurusan sastra saja tak bisa. Perbedaan keinginan dan definisi sukses sepatutnya bukanlah sebuah halangan yang berarti. Bertoleransi, sebegitu sulitnyakah?”
“Menurutmu, apa pesan moral dari cerita Bawang Merah dan Putih?” Tidak ada angin ataupun hujan, tiba-tiba saja, si kakek tua bertanya. Pertanyaan yang tak ubahnya adalah sebuah pembeoan, sebab tidak jelas tertuju pada siapa.
Surya menengok dan seketika terkejut. Pria itu adalah Indrawan, penyair kebanggaan Indonesia sekaligus paling kontroversial karena terlalu berani bermain diksi dan mengupas tema baru, menjadi gerbang menuju kebebasan berpendapat kendatipun politik, agama, dan seksualitas adalah tabu pada masanya. Namun, itulah yang dikagumi Surya: menjadi jujur serta blak-blakan.
Dari topi flatcap khas seniman dan kacamata hitam kakek tua tersebut, Surya langsung mengenali panutannya. Sebagai pemuda yang tak percaya kebetulan, ia terkesima dengan perjumpaan tidak terduga ini. Rasanya seolah diikat takdir. Kedengarannya berlebihan tapi begitulah adanya.
“Maaf? Bapak bicara dengan saya?” tanya Surya memastikan, tak ingin geer. Reaksi Indrawan tidak banyak, bahkan tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya tatapan yang seolah mengatakan, ‘memangnya ada penumpang lain di sini?’
Surya jadi kikuk sendiri. “Menurut saya, pesan moral dari cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih adalah bersabarlah dalam setiap cobaan kehidupan. Karena, akan ada pelangi setelah hujan. Semua indah pada waktunya.”
“Salah! Jawabannya, jangan terlalu baik. Terlalu baik dan bodoh itu beda tipis,” koreksi Indrawan. Pandangannya lurus ke depan, tak menatap Surya. Sepertinya, ia tengah memandang realita hari ini.
Sementara Surya, hanya tersenyum canggung dan manggut-manggut merespons perkataannya. Dan tidak lama kemudian, Indrawan bertanya lagi, “Bagaimana Itik Buruk Rupa?”
“Jangan menghina yang berbeda dari kita?”
“Salah! Jawabannya adalah sebelum rasis, bercerminlah setiap hari. Kamu lebih jelek. Itu yang benar.” Indrawan bercedih, lalu melanjutkan, “Rupanya kamu sama sekali tak memiliki bakat di bidang sastra. Jadi, benar kata orangtuamu itu.”
Penyair apa-apaan dia ini? Seenaknya berkata begitu. Padahal, usianya menjelang magrib. Aturan, fokuslah kumpul amal ibadah daripada mengurusi amanat cerita yang ngawur dan aneh itu, pikir Surya yang tidak setuju dengan pemikiran Indrawan yang menurutnya salah itu. Namun, tak diutarakannya. Ia rasa, sudah tertebak akan seperti apa. Pasti takkan diterima kontranya. Jadi, Surya langsung mengangguk tanpa banyak berkata apa-apa, biar cepat selesai.
“Tak apa, pelan-pelan saja, nanti juga paham,” kata Indrawan, sebelum akhirnya turun.
Surya yang dari tadi memandang indah setiap kata yang keluar dari mulut Indrawan, seketika ingin menarik pujiannya. Sebagai salah satu penyair pendobrak tabu lewat tulisan-tulisannya dan tanpa kenal takut kaum konservatif, kepada dialah Surya berkaca selama ini untuk tidak membiarkan keseragaman mengalahkan keberagaman.
Namun, sebagaimana peribahasa lama berbunyi, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Satu kesalahan musnahkan seribu kebaikan. Manusiawi bilamana orang hanya fokus kepada satu titik hitam dan mengabaikan putih yang membentang luas. Surya tahu itu. Sayangnya, ia jugalah manusia dan bagaimana pun bisa kecewa.
Akan tetapi, Surya sadar. Ini salahnya. Dialah yang menempatkan diri sendiri dalam kotak kekecewaan, dengan menaruh harap kepada manusia. Jelas-jelas, itu adalah seni paling sederhana untuk menderita dan Surya kenal betul perasaan itu berkat kedua orang tuanya—yang merasa paling benar dan apabila seseorang tak sepemikiran dengannya, mereka menganggapnya salah habis-habisan. Kesimpulannya cuma satu, yakni lupa bahwa dunia penuh perbedaan, termasuk perbedaan pemikiran.
Surya membelalak, seakan baru menyadari sesuatu.
Dari tadi, dirinya pun begitu.
0 komentar:
Posting Komentar