DNA INTAN

Draf dan Arsip Intan


Blog pribadi Bukan web biologi


3 Sep 2021

Lia, Life, and Love - 1

 


Cerita ini adalah fiksi, murni dari planet imajinasiku sendiri yang selalu aku kunjungi sebelum tidur. Letaknya ada di pikiranku. Hanya milikku seorang. Jadi, jika kamu menemukan cerita ini di tempat lain, harap segera lapor.

 

Boleh dibagikan tanpa izin, asal dengan menggunakan tautan, bukan screenshot atau salinan.


1. Lia


Airlia Dewi Meilani, itu nama lengkap perempuan yang menjadi pemeran utama cerita ini. Bapaknya bilang, Airlia artinya halus. Sedangkan Dewi tentu saja untuk menegaskan bahwa ia adalah anak perempuan. Dan Meilani, tidak ada arti khusus dari nama itu, bapaknya memilih nama itu semata-mata karena ada kata 'Mei' sesuai dengan bulan kelahirannya.


Panggil saja Lia. Cuma perempuan biasa. Hidup berdua dengan penuh kesederhanaan bersama sang bapak yang bekerja sebagai tukang pos.  Lihat saja kamarnya, berbeda dari gadis biasanya yang memiliki banyak hiasan. Yang mengisi ruangan itu hanyalah kasur melantai. Pernah melihat lemari pakaian anak-anak berbahan plastik yang langsung ditarik layaknya laci? Punyanya seperti itu.


Di dinding, tidak ada stiker unik, hanya ada tempelan gambar-gambar rancangan gaun yang dia buat sendiri untuk dipamerkan ke seluruh penjuru dunia suatu saat nanti, dan deretan medali dan sertifikat yang dia dapat baik dari akademik maupun non akademik seperti taekwondo. Di meja, tidak ada aksesoris lucu, make up, ataupun skin care lengkap, melainkan piala-piala. Tenang saja, dia bukanlah jenis ‘Pick Me Girl’. Tetapi semua bisa seperti itu karena dia adalah orang miskin.


Lia sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abu, kerudung putih, juga sepatu Converse yang buluk. Sebelum keluar kamar, tidak lupa ia memasukkan sebuah buku yang selalu ia bawa ke mana-mana. Itu adalah buku diari pemberian almarhumah ibunya. Di benaknya masih teringat jelas percakapan dengan sang ibu kala buku itu diberikan padanya,


“Di buku ini, kamu bisa ceritakan semua yang kamu rasakan.”

“Kenapa harus di sini? Kan, aku bisa cerita sama Ibu.”

“Karena nggak selamanya Ibu bisa menemani kamu.”


Ketika itu, Lia terlalu senang mendapat hadiah ulang tahun kelima dari sang ibu. Dia belum mengerti bahwa, ternyata itu adalah salah satu pertanda sebelum beberapa hari kemudian malaikat penjaganya itu berpulang pada Tuhan.


Oke, kembali ke kamar. Setelah semuanya siap, Lia bergegas menuju dapur, gesit menyiapkan bekal dari masakan Jahiyar: Bapak yang merupakan Supermannya. Dia bapak paling baik hati, paling selalu ingin melihatnya sukses di sekolah, dan paling ganteng sedunia meski kulitnya hitam dan sering berkeringat. Kalau soal tampilan, Lia memang merupakan cetak biru ibunya, tapi kalau soal semangat kerja keras, itu menurun dari bapaknya.


“Pak, aku berangkat dulu!”


“Pagi ini Bapak antar kamu sekolah ya.”


“Aku naik angkutan umum aja, Pak. Kalau diantar, nanti merepotkan Bapak. Waktu libur bukannya dipakai istirahat malah mau mengantar aku. Dadah Bapak! Assalamualaikum!” Sebelum Jahiyar bisa berkata apa-apa lagi, Lia sudah mengecup punggung tangannya dan melesat keluar.


Betul sekali kalau ada yang bilang Jakarta termasuk kota dengan tingkat kesibukan tinggi di dunia. Naik bus di pagi hari bagai bergabung dengan kerumunan semut. Bagi Lia, ini merupakan salah satu metode melatih kesabaran. Toh, tidak sabar pun, tetap akan macet juga.


Di tengah lautan manusia yang saling mengimpit satu sama lain, tidak sengaja Lia memergoki seorang bapak diam-diam sedang memotret paha perempuan bersetelan khas SPG yang berdiri membelakanginya. Penumpang lainnya hanya menonton perbuatan tak senonoh itu, tidak ada yang menegur, atau menolong sama sekali.


Lia paham, bukan semua tak acuh, tapi beberapa orang tidak tahu apa yang harus dilakukan, merasa akan terkena bahaya jika ikut campur, dan banyak yang berpikiran sama, “Nanti juga ada nolong.”


Itu artinya, peran Lia sangat membantu di sini. Tanpa pikir panjang lagi, meski sebetulnya juga takut, ia mendekat, berniat mengambil ponsel si bapak bertepatan dengan aksinya selesai, tetapi si bapak gerak cepat menahannya.


“Siapa kamu?!”


“Saya melihat Anda mengambil foto yang tidak pantas.”


“Mana buktinya? Jangan nuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya fitnah.”


Baik kalau memang maunya begitu. Lia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan video aksi kurang ajar bapak tadi dengan tangan satunya. Ya, tentu saja ia sempat merekamnya, karena pasti ada sejuta cara ia justru yang nanti malah disudutkan dengan alibi-alibi seperti sekarang. Lia adalah orang yang sedia payung sebelum hujan.


“Itu sih salah si Mbaknya saja yang pakai pakaian kurang bahan, roknya cuma selutut, bikin mengundang nafsu! Nggak ada asap tanpa api!” amuk si bapak. Lihat, bahkan sudah ada buktinya pun si bapak masih balik menyalahkan. Dia malah mengolok dan mengumpat pada perempuan itu yang kini terlihat ketakutan. Kemudian, sadar tangannya yang sedang memegang ponsel masih dicekal oleh Lia, dia lanjut mengamuk, “Aku ini orang tua. Kurang ajar kamu ya sama orang tua. Umurmu berapa?”


Entah karena jengah atau terganggu, orang-orang yang tadi cuek saja kini bersuara. “Sudahlah, Dek, biarkan saja. Pakaian terbuka memang bisa menimbulkan hasrat. Namanya juga laki-laki. Nanti kamu akan paham kalau sudah nikah. Sekarang fokus sekolah yang benar, lulus, dan banggakan orang tua.”


“Bener tuh, ini wajar karena mbaknya nggak memakai pakaian yang menutup aurat, nggak mematuhi perintah agama Islam.”


“Nah, lagian kalau seseorang berpakaian terbuka, bukankah itu artinya dia memang ingin dipandang lawan jenis?”


Lama bungkam, kini perempuan itu mencoba untuk berani bicara. Sebab makin mulut mereka dibiarkan, makin keterlaluan. Dengan suara gemetar, dia berkata lantang, “Maaf Bu, saya non muslim. Soal pakaian, sebagai SPG yang menjajakan produk otomotif, saya harus memakai seragam yang diberikan koordinator.”


Bagi Lia, klarifikasi itu rasanya terlalu sopan. Lia ingin sekali mengeluarkan kata-kata yang sudah bersarang di kepalanya, namun sebelum melakukan itu, muncul sebuah suara, “Baru-baru ini ada kasus gadis remaja dilecehkan saat sedang sholat berjamaah di masjid. Melihat kasus itu apakah pakaian menjadi tolak ukur seorang perempuan mengalami pelecehan seksual?”


Kerumunan bergeser untuk melihat dari mana asalnya. Dia seorang wanita berumur empat puluh tahunan yang karismatik. Ucapannya membuat suasana hening untuk beberapa detik, sampai akhirnya, ia melanjutkan, “Saya sudah panggil polisi.”


“Sial!” Si bapak mendorong Lia yang sedari tadi mencekal tangannya. Bus berhenti di halte tepat seberang SMA Harapan Negara—sekolah Lia—dan pintu terbuka. Si bapak berlari keluar sambil mendorong siapa saja yang menghalangi jalan membuat suasana bus jadi ricuh. Lia mengejarnya, tentu ia tidak bisa diam saja, akan ia pamerkan keahlian taekwondonya yang sudah mencapai sabuk hitam itu.


Lia lincah berlari, menyeberangi jalan, meloncati apa saja yang menjadi penghalang seperti seorang atlet gimnastik. Tanpa diduga, ia melepas tasnya dan penuh kekuatan, ia melempar benda berisikan banyak papan kayu itu—kebetulan hari ini ada latihan taekwondo. Gerakan melemparnya begitu dramatis, tas melengkung, menembak ke arah si bapak. Tepat sasaran! Sayangnya si bapak bangkit dan kabur lagi.


“Lia? Eh, Mang, berhenti dulu.” Di sisi lain, Ali, teman sekelas Lia, yang berangkat ke sekolah diantar sopirnya, melihat kejadian itu dari arah berlawanan, langsung membuka daun pintu mobilnya sewaktu si bapak sudah mulai mendekat. Membuat si bapak menabraknya dan tersungkur mencium aspal.


Lia yang sudah kembali memakai tasnya bergegas mengunci pergerakan si bapak supaya dia tidak bisa kabur lagi. Ali dan mamangnya juga ikut membantu. Tidak lama, dua polisi datang mengamankannya. Masalah beres, Lia dan Ali memutuskan mendatangi perempuan tadi yang kini terduduk dengan kondisi masih gemetar di bangku halte.


“Mbak, gapapa? Mbak pasti kaget banget tadi ya. Ini diminum dulu.” Lia membuka tas ransel, mengeluarkan botol air minum, menyerahkannya pada perempuan itu. “Sekarang sudah aman, pelakunya sudah ditangkap polisi, Mbak tenang saja.”


“Iya, saya sudah gapapa, cuma masih syok. Terima kasih banyak ya, Dek.”


“Sama-sama, Mbak. Oh ya, bisa berikan nomor ponsel Mbak?” Perempuan itu memberikan nomor ponselnya. “Oke, video rekaman saat pelaku melakukan kejadian sudah saya kirim ya untuk dijadikan barang bukti. Mbak bisa hubungi saya kalau nanti butuh kesaksian.”


Setelah tersenyum singkat, Lia lanjut jalan menuju sekolah dengan kondisi tubuh yang sebenarnya sudah gemetaran, karena tidak mudah menegur orang apalagi kasus begini. Ali yang menyadari itu, langsung bertanya,


“Kamu gapapa, Li?”


Lia menatap heran Ali, seolah berkata, “Tumben banget ini orang peduli?” Karena setahunya, Ali cuma bisa menyebalkan setiap hari, Lia sendiri juga bingung mengapa bisa berteman dengannya.


“Kenapa? Tadi aku keren banget ya sampai kamu terpesona begitu?” Baru juga dibilang, dia itu menyebalkan. Lihatlah, Ali yang memang percaya dirinya di atas rata-rata itu malah salah mengartikan tatapannya, dia mengangkat kedua alisnya, tersenyum miring bangga.


Lia menarik napas panjang. “Ali, kamu suka batu kerikil, batu bata, atau batu kali?”


“Mungkin batu kali. Bentuknya sekilas biasa saja, tapi dia dermawan banget. Walau selalu diterjang arus deras, dia tetap sukarela memberikan yang terbaik dengan berdiri kokoh tanpa mengharap balasan, manusia pun bisa aman menyeberangi sungai. Keberadaannya seolah memberitahu kita bahwa di setiap kesulitan pasti ada jalan.”


“Bodo amat, bodo amat.”


“Tadi nanya. Emang buat apa sih?”


“Buat kutimpuk ke wajahmu!”


“Enggak usah nge-gas juga kali. Heran, jadi cewek kok galak amat. Ingat ya, aku lebih tua dua tahun dari kamu loh.” Ali mengarahkan dua jarinya ke arah Lia. Lia yang pernah loncat kelas dan Ali yang telat satu tahun masuk sekolah, membuat mereka terpaut jarak usia dua tahun.


“Bangga banget ya udah tua.”


“Oh, iya, Li—”


“Diam! Enggak usah bicara lagi! Sekarang cuacanya udah panas, nggak usah nambah-nambahin panas!”


“Kena matahari di jam tujuh pagi gini bagus kok, dapat vitamin D.” Kalau sudah membahas yang berhubungan dengan hal medis, Ali seolah berada di dunianya sendiri, dan melupakan banyak hal bahkan termasuk apa yang hendak ia ingin katakan barusan.


“Eh....” Lia seolah menyadari sesuatu.


“Jam tujuh?!” Keduanya kompak terkejut, lantas berlari secepat kilat. Sesampainya di gerbang sekolah, ada banyak murid-murid lain yang terlambat juga. Mereka akhirnya dihukum lari keliling lapangan sebanyak lima putaran.


Lia meringis, mungkin bagi murid lain terlambat adalah sesuatu yang biasa. Tetapi dia murid beasiswa. Ya, dia mendapat beasiswa secara penuh dari pihak sekolah karena segudang prestasinya. Menjadi murid di sekolah menengah atas itu merupakan salah satu keberuntungan dan kebanggaan tersendiri untuknya, sebab tidak sembarang orang bisa bersekolah di sana jika bukan berasal dari keluarga yang katakanlah cukup terpandang. Dan, sekarang dia malah terlambat, seolah tidak memanfaatkan keberuntungan itu dengan baik.


“Li....” Di putaran kelima, Ali menyejajarkan langkahnya dengan Lia.


“Duh, aku kehabisan napas, nih! Jangan ajak ngomong mulu kenapa!”


“Lia....”


“Ssssst!”


“Lia, tadi aku ketemu buku ini.” Ali membuka tas, mengeluarkan sebuah buku warna putih, dan memberikannya kepada Lia. Itu buku diari.


Lia langsung berhenti, memeriksa tasnya. Risletingnya sudah terbuka dari tadi. Benar itu miliknya. “Kok bisa ada di kamu? Kamu colong dari tas aku, ya?!” Tuhan, tolong berikan kekuatan Ibu Malin Kundang sekarang juga agar laki-laki menyebalkan ini bisa aku kutuk jadi batu segera, lagi pula katanya dia ingin menjadi batu kali!


Detik selanjutnya, tanpa berpikir panjang lagi karena sudah panas entah karena matahari, entah karena menyebalkannya Ali, Lia mengejarnya dan mereka kejar-kejaran di antara murid lain yang juga sedang dihukum berlari keliling lapangan, menabrak semuanya, selayaknya pasangan di film-film romantis India. Tetapi, tolong jangan berpikiran kisah ini akan berlanjut membahas bagaimana keduanya jadi menjalin kisah cinta ala anak sekolah setelah dihukum bersama. Terlalu klise. Lagi pula, daripada pasangan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus dalam serial kartun Tom & Jerry.


“Aw! Li, bukunya tuh jatuh waktu kamu lagi lempar tas ke bapak-bapak tadi!” Ali di depan berusaha memberi penjelasan.


“Kenapa baru bilang sekarang? Pasti kamu tadi sempat baca-baca isinya, kan?!” 


“Suuzan terus. Salahku apa sih? Yang dari tadi terus memotong ucapanku siapa, huh, jadinya aku nggak bisa langsung balikin? Dan lagian dari tadi aku selalu sama kamu, kan?” 


Mendengar itu, Lia langsung terdiam. Betul juga apa yang dikatakan Ali. Sepertinya kalau tentang Ali, Lia memang hanya bisa memikirkan hal-hal negatif saja. Dan sepertinya ia harus segera merukiah diri agar tidak mudah berburuk sangka pada orang itu.


“Kalian berdua!” Suara melengking Pak Agus, guru olahraga sekaligus yang bertanggung jawab atas kedisiplinan siswa, menggema di lapangan.


Keduanya serempak berhenti dan menoleh.


Pak Agus memelotot, berdiri di pinggir lapangan, tangannya memegang penggaris kayu panjang. “Couple goals kita hari ini. Terlambat bareng, dihukum bareng. Oke, saya akan tambahkan hukuman biar semakin serasi. Silakan lari keliling lapangan lima putaran lagi.”


Lia dan Ali seketika itu juga melongo, namun pada akhirnya mereka berdua berlari lagi diiringi tawa teman-teman yang dihukum tadi. Setelah menjalani hukuman yang membuat tubuh langsung lelah, meski tidak seberapa dengan menampung malu, mereka akhirnya diperbolehkan ke kelas. Ada Bu Siti—guru matematika sekaligus wali kelas mereka—dan seorang siswi di depan papan tulis. Anaknya feminin, berbalik dengan Lia. Rambutnya panjang dikepang satu ke belakang, kulitnya putih pucat, cantik, dan senyumnya manis sekali. Hanya saja sedari tadi dia terus menundukkan kepalanya.


“Assalamualaikum, maaf terlambat, Bu.”


“Waalaikumussalam. Dari mana kalian?”


“Habis dihukum, Bu, lari keliling lapangan.”


“Hadeh. Ya sudah, silakan duduk.” Lia dan Ali segera duduk di kursi masing-masing. Bu Siti pun memperkenalkan siswi yang tadi masuk bersamanya. “Pagi ini kita kedatangan siswi baru. Mulai sekarang dia menjadi teman kalian, ya. Baik-baik sama teman baru kalian. Silakan perkenalkan diri kamu, Nak.”


“Mmm... hai... namaku Aslamiyah, kalian bisa panggil aku Mia. Terima kasih.”


Salah satu murid mengangkat tangannya. “Cuma itu doang? Dari sekolah mana?”


Mia hanya diam. Bu Siti tiba-tiba mengambil alih. “Mia homeschooling. Terakhir bersekolah di sekolah umum waktu SD. Itu membuatnya harus belajar beradaptasi lagi dari awal. Makanya, mohon bimbingan kalian ya, untuk Mia.”


Langsung terdengar suara bisik-bisik dari sepenjuru ruangan.


“Baiklah.” Bu Siti mendekati Mia dan berkata pelan. “Kamu bisa duduk di sana.”


Mia mulai berjalan ke satu-satunya meja yang kosong, di samping Lia. Ia duduk di sana, menaruh tas, dan mengeluarkan alat tulis dengan pandangan yang masih terus menunduk sementara beberapa murid masih memperhatikannya.


“Kalau ada yang bicara buruk tentangmu, santai saja, ya. Tidak usah dipikirkan. Karena sebenarnya mereka sedang memperlihatkan keburukan mereka sendiri. Sudah tahu menggosip adalah hal buruk, tapi masih tetap saja dilakukan, bahkan secara terang-terangan.” Lia berbisik, lantas seolah teringat sesuatu, dia mengulurkan tangan. “Ah, hai, selamat datang di sekolah ini. Salam kenal. Aku Airlia, tapi panggil aja Lia. Senang bertemu denganmu!”


“Mia....” Mia membalas.


“Ali....” kontan keduanya menoleh dan melihat Ali tersenyum yang membuat lekuk sabit di pipinya terlihat, melambaikan tangan, ikut-ikutan memperkenalkan diri pada Mia. “Hai. Iya, selamat datang di sekolah ini. Jangan kaget kalau dapat tugas seabrek. Oh ya, hati-hati sama Lia, nanti bisa diterkam.”


Lia langsung memelotot dan menunjukkan kepalan tangan. Ali akhirnya kembali duduk menghadap depan, memperhatikan Bu Siti yang mulai mencoret-coret papan tulis dengan banyak rumus.


“Hati-hati sama Ali, lesung pipinya ada pelet.”


Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya.

0 komentar:

Posting Komentar

INTAN
+62
Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE



Cari Blog Ini