DNA INTAN

Draf dan Arsip Intan


Blog pribadi Bukan web biologi


About

Tak kenal maka tak sayang

Hello

Bukan penggiat Biologi, dan
bukan siapa-siapa

Intan. Pasaran. Makanya kehabisan username dan akhirnya menggunakan intaneural serta DNA Intan meski ini bukan blog pembelajaran Biologi dan bukan penggiat Biologi, melainkan merupakan seorang perempuan yang gemar main diksi. Namun, sebagai anak jurusan sosial yang kebetulan mata pelajaran satu itu merupakan lintas minatnya, jadi, masihlah sedikit mengerti dan bolehlah ikutan menggombal ala-ala: senyummu manis seperti glukosa! Mungkin, kita pernah bertemu di suatu waktu dan aku nggak tau kalau itu kamu, pun sebaliknya. Salam kenal di sini. It's just virtual, don't expect more.

Tenggelamnya Surya di Lautan Ego

Rintik pagi ini, seakan mengerti hati yang menangis karena mengingat kenangan lalu. Namun, Surya enggan. Lagian, tak etis juga. Gerimis ingat mantan, giliran banjir, baru ingat Tuhan. Daripada buang-buang waktu, ada yang lebih penting ketimbang itu, yakni yang dikejar dan dituju: cita-cita, sebuah kata diekori tanda tanya besar. Sebab bukan hanya tentang kebingungan mau jadi apa, tapi bagaimana meraihnya? Kita memiliki keinginan, tapi semesta punya kenyataan.

Baginya, pagi tetaplah pagi, saatnya berangkat sekolah, naik angkot, dan membuat matahari cemburu dengan semangat yang membara. Waktunya bangun dari mimpi dan mewujudkannya. Mau tidak mau, ia harus menghadapi ketakutan akan ketidakpastian masa depan. Pagi takkan pernah berubah seperti hidupnya yang monoton. Pengecualian hari ini. Bukan cuma langit dan awan, pelangi tumben ikut menyambut awal harinya, sepertinya sisa dari badai lebat semalam. Betul kalau orang bilang, “Nikmatilah hujanmu. Maka, pelangimu akan datang.”

Dari jendela angkot, Surya, lelaki yang sedari kecil terinspirasi oleh alam dan pelangi adalah salah satunya, memandang ciptaan Tuhan Yang Maha Agung itu. Sungguh terlihat memesona dan tak pernah gagal mengukir senyum di bibir setiap orang. Sementara dirinya, yang masih setia di jalan raya bersama kemacetan ibukota, bertanya dalam hati, “Bukankah pelangi indah karena warna yang beraneka ragam?”

Intinya, keindahan adalah kesatuan dalam keberagaman, bukan keseragaman. Pun kita manusia. Sejatinya ditakdirkan beragam ras. Itu mutlak dan tak dapat diganggu gugat adanya. Namun, bukan berarti boleh semena bertindak terhadap yang tidak terikat kuasa Tuhan. Hal tersebut mengusik angan tentang kedamaian Surya, keresahan atas orang dewasa yang terus memaksakan kehendak kepada yang lain, khususnya terhadap perbedaan keinginan dan definisi sukses setiap insan. Dia paling benci sifat itu, betapa egois dan hati mereka, pastilah terbuat dari batu sebab saking kerasnya, pikir Surya. Kenyataan bahwa papa dan mamanya termasuk salah dari mereka, itu yang paling menyedihkan hati lugunya.

“Kamu nggak usah ambil sastra, apalagi Sastra Indonesia. Mendingan Akuntansi, Kedokteran, atau Hukum. Pokoknya jangan sastra. Susah cari kerjanya.” Setiap sarapan pagi, mamanya selalu berkata demikian. “Dulu di umurmu, Mama juga naif kayak begini. Bersyukurlah setidaknya ada Mama sama Papa yang arahin kamu. Dengerin kata orang tua dan suatu saat nanti, kamu akan berterima kasih sama Mama dan Papa.”

Kemudian papanya, yang selalu memandang rumput tetangga lebih hijau, menyambung, “Anaknya Om Firman, dia ambil jurusan hukum dan sekarang sukses sebagai kepala notaris. Kamu nggak mau ikutin jejaknya?”

Sejak setahun lalu, meja makan telah beralih fungsi menjadi ruang pengadilan, meributkan rencana masa depan anak semata wayang itu. Bukannya Surya bingung dengan mimpinya. Malahan, Surya sering kali membawa pulang juara. Namun sepertinya, prestasi-prestasi ini terlalu kecil dan saking kecilnya, Mama dan Papa tak bisa melihatnya, bahkan meliriknya, pikir Surya.

Makanya, mereka merencanakannya sendiri. Sayangnya, Surya cuma jadi pengamat yang membisu seribu bahasa. Dia bukan tuna rungu wicara. Tidak pula kehabisan kalimat untuk menanggapi segalanya. Lagi pula, tidak mesti dari lidah. Daripada hanya akan terjebak dalam perdebatan yang tiada akhirnya, ada kala diam jugalah jawaban. Tidak, bukan jawaban sepakat. Namun, jawaban paling lelah dari seseorang ketika kehilangan kesempatan bicara dan kata-kata tak lagi bermakna. Maksudnya, seberapa panjang yang disuarakannya, apakah akan didengar?

Alih-alih begitu, adanya justru pemantik pertengkaran. Ujung-ujungnya pasti berdebat, tapi kini, Surya tidak lagi. Apalah arti berdebat jikalau tidak menghargai pendapat. Sebelum memutuskan mengunci bibir rapat-rapat, ia telah membuang habis seluruh ego bersama unek-unek yang terakhir kalinya,

“Ma, Pa, bagaimana ujungnya nanti, aku enggak tahu. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa, apalagi sebuah keberhasilan menjadi guru dan penulis apabila definisi sukses adalah menghasilkan banyak uang dan mengangkat derajat keluarga seperti yang dimau. Selama mampu, akan kucoba dan terus berusaha, tapi kalau tanpa restu Mama dan Papa, hakku apa? Sebagai anak, gak mungkin aku melawan orang tua, bukan begitu?”

Malam berganti dan terbitlah Surya yang kehilangan sinarnya. Cahayanya lenyap ditelan waktu. Hal tersebut berdampak kepada hari esok yang gelap. Sekarang, remaja dengan mimpi sederhananya itu menjelma seseorang yang kebingungan arah dan akhirnya memilih ikut air yang mengalir. Bangun tidur, terus mandi, dan sebelum berangkat sekolah, tidak lupa sarapan ceramah mama. Namun, tak lagi Surya memprotes mereka, meskipun sebetulnya, dia bukan tipe penahan diri. Di samping takut menyakiti hati orang tua dan membuatnya dikutuk menjadi batu seperti Malin Kundang si Anak Durhaka, hanya saja, meluapkan emosi memanglah sangat melegakan, tapi selanjutnya?

Makanya, Surya percaya bahwa, diam mampu membuat diri terhindar dari segudang masalah. Sayang beribu sayang, satu yang lupa digarisbawahinya: menghindar bukanlah menyelesaikan masalah. Bukan Surya berniat abai, dirinya hanya butuh waktu untuk berdamai, menerima kenyataan tanpa menyalahkan keadaan karena hidup adalah keresahan masing-masing. Hingga akhirnya, ia tidak sadar telah terlalu lama mengabaikan persoalan dan mulai akrab dengan prinsip ikut arus air—daripada melawan ketentuan yang mengantarkan kepada kesedihan.

Jadilah Surya yang lebih mendengarkan kebisingan dunia dibanding nurani sendiri. Sekarang, cuma kemonotonan yang ada. Bosan? Masihkah perlu bertanya? Tiada pagi tanpa menggendong harapan orang tua di pundak dan membawanya ke sekolah. Selalu seperti itu dan tak pernah terlewat, pun hari ini, sekalipun adalah ulang tahunnya. Mereka bahkan lupa.

“Selamat ulang tahun Surya, tapi di umur yang ke delapan belas ini, kenapa tidak bernegosiasi?” Begitulah tanya Maria, teman sebangkunya, menanggapi Surya yang langsung bertukar cerita setiba di sekolah. Boleh dikata, mereka lebih dari teman—sahabat, bukan pacar.

Tak tanpa alasan Surya menaruh percaya padanya. Mungkin, kamu pernah dengar ini. Bahwa obat lelah tidak melulu harus berhenti sejenak, tapi boleh jadi berwujud seseorang bersama telinga yang sedia mendengar tanpa menyela dan hati yang pandai mengerti, bukannya malah menghakimi. Buat Surya, itu Maria.

Herannya pikir Surya, tak kira sudah berapa banyak keluh kesah yang sama berulang kali, Maria belum pernah bosan membuka telinganya dan sampai sekarang, ia masih begitu. Surya menjulukinya Kopi dari Timur. Maria asli Papua. Namun, ini bukan tentang rasnya. Melainkan, sebagaimana kopi, minuman kesukaan Surya, yang menghangatkan hati lewat kesetiaannya mendengar cerita pagi hari. Ia juga mampu memberi ruang meski selalu menemani. Sederhananya, peduli tanpa terlalu mencampuri. Itulah Maria dan Surya sangat mencintainya, sebagai sahabat.

Maka, dianggapnya sangat sebarang bilamana orang berkata miring tentang sahabatnya. Surya siap pasang badan. Ia dan sahabatnya memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama manusia dan punya hak asasi. Perkara perbedaan ras, agama, atau bahkan dialek, mereka lupa bahwa lidah ibarat api, dapat menghangatkan, tapi juga menghanguskan. Mulutmu memang harimaumu, tapi kata-kata adalah senjata dan orang lain bisa terluka karenanya.

Dibersamakan oleh sosoknya, kehadirannya, itu lebih dari cukup. Namun, cukup sampai situ. Jangan lebih dari itu. Jangan membuatnya khawatir, pikir Surya. Akhirnya, pertanyaan Maria tadi, Surya hanya menjawab dalam hati. Tentang cita yang ditentang, kenapa tak bernegosiasi? Sudah, sudah kulakukan, tapi tidak kunjung jumpa kesepakatan karena terbentur perbedaan. Jadi, apakah mimpiku berujung pada kekecewaan?

“Kamu gapapa?” tanya Maria. Dan Surya pun sama, menanyakan kewarasannya sendiri. Mendapati Surya hanya diam, Maria melanjutkan, “Kalau terus begini, nggak sehat loh. Kalau mau sehat, harusnya lari pagi, bukannya malah lari dari kenyataan.”

Surya terkekeh. “Aku diam bukan berarti pasrah, tapi lagi seriawan.”

Langsung Maria tertawa. Tertawanya serius, sampai tubuhnya terguncang-guncang dan menularkannya pada Surya. Pecahlah gelak dua kawan seperjuangan itu. Satu lagi yang Surya sukai dari Maria. Sahabatnya ini sungguh murah hatinya. Bagaimana tidak, tawanya sudi ditukar dengan lelucon garing yang tak seberapa lucunya. Dan, dia bukan menertawakannya, tapi tertawa bersamanya. Bahagia, di titik ini semakin jelas: tak melulu milik orang yang banyak kesamaan, tapi mereka yang pengertian terhadap setiap perbedaan.

Andai sesederhana itu, pikirnya. Surya merenung sampai termenung sepanjang perjalanan pulang dalam angkot yang dinaikinya. Ia duduk di samping seorang kakek tua yang sedang mengantuk. Ingin sekali ikut tidur juga, supaya tidak memikirkan banyak hal, tapi sulit. Karena di angkot itu tak ada penumpag lain selain ia dan kakek tua yang tertidur, ia menggumam,

“Andai dunia tak sekejam itu, maka Mama dan Papa takkan mendidik keras sejak awal hingga aku mau ambil jurusan sastra saja tak bisa. Perbedaan keinginan dan definisi sukses sepatutnya bukanlah sebuah halangan yang berarti. Bertoleransi, sebegitu sulitnyakah?”

“Menurutmu, apa pesan moral dari cerita Bawang Merah dan Putih?” Tidak ada angin ataupun hujan, tiba-tiba saja, si kakek tua bertanya. Pertanyaan yang tak ubahnya adalah sebuah pembeoan, sebab tidak jelas tertuju pada siapa.

Surya menengok dan seketika terkejut. Pria itu adalah Indrawan, penyair kebanggaan Indonesia sekaligus paling kontroversial karena terlalu berani bermain diksi dan mengupas tema baru, menjadi gerbang menuju kebebasan berpendapat kendatipun politik, agama, dan seksualitas adalah tabu pada masanya. Namun, itulah yang dikagumi Surya: menjadi jujur serta blak-blakan.

Dari topi flatcap khas seniman dan kacamata hitam kakek tua tersebut, Surya langsung mengenali panutannya. Sebagai pemuda yang tak percaya kebetulan, ia terkesima dengan perjumpaan tidak terduga ini. Rasanya seolah diikat takdir. Kedengarannya berlebihan tapi begitulah adanya.

“Maaf? Bapak bicara dengan saya?” tanya Surya memastikan, tak ingin geer. Reaksi Indrawan tidak banyak, bahkan tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya tatapan yang seolah mengatakan, ‘memangnya ada penumpang lain di sini?’

Surya jadi kikuk sendiri. “Menurut saya, pesan moral dari cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih adalah bersabarlah dalam setiap cobaan kehidupan. Karena, akan ada pelangi setelah hujan. Semua indah pada waktunya.”
“Salah! Jawabannya, jangan terlalu baik. Terlalu baik dan bodoh itu beda tipis,” koreksi Indrawan. Pandangannya lurus ke depan, tak menatap Surya. Sepertinya, ia tengah memandang realita hari ini.

Sementara Surya, hanya tersenyum canggung dan manggut-manggut merespons perkataannya. Dan tidak lama kemudian, Indrawan bertanya lagi, “Bagaimana Itik Buruk Rupa?”

“Jangan menghina yang berbeda dari kita?”

“Salah! Jawabannya adalah sebelum rasis, bercerminlah setiap hari. Kamu lebih jelek. Itu yang benar.” Indrawan bercedih, lalu melanjutkan, “Rupanya kamu sama sekali tak memiliki bakat di bidang sastra. Jadi, benar kata orangtuamu itu.”

Penyair apa-apaan dia ini? Seenaknya berkata begitu. Padahal, usianya menjelang magrib. Aturan, fokuslah kumpul amal ibadah daripada mengurusi amanat cerita yang ngawur dan aneh itu, pikir Surya yang tidak setuju dengan pemikiran Indrawan yang menurutnya salah itu. Namun, tak diutarakannya. Ia rasa, sudah tertebak akan seperti apa. Pasti takkan diterima kontranya. Jadi, Surya langsung mengangguk tanpa banyak berkata apa-apa, biar cepat selesai.

“Tak apa, pelan-pelan saja, nanti juga paham,” kata Indrawan, sebelum akhirnya turun.
Surya yang dari tadi memandang indah setiap kata yang keluar dari mulut Indrawan, seketika ingin menarik pujiannya. Sebagai salah satu penyair pendobrak tabu lewat tulisan-tulisannya dan tanpa kenal takut kaum konservatif, kepada dialah Surya berkaca selama ini untuk tidak membiarkan keseragaman mengalahkan keberagaman.

Namun, sebagaimana peribahasa lama berbunyi, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Satu kesalahan musnahkan seribu kebaikan. Manusiawi bilamana orang hanya fokus kepada satu titik hitam dan mengabaikan putih yang membentang luas. Surya tahu itu. Sayangnya, ia jugalah manusia dan bagaimana pun bisa kecewa.

Akan tetapi, Surya sadar. Ini salahnya. Dialah yang menempatkan diri sendiri dalam kotak kekecewaan, dengan menaruh harap kepada manusia. Jelas-jelas, itu adalah seni paling sederhana untuk menderita dan Surya kenal betul perasaan itu berkat kedua orang tuanya—yang merasa paling benar dan apabila seseorang tak sepemikiran dengannya, mereka menganggapnya salah habis-habisan. Kesimpulannya cuma satu, yakni lupa bahwa dunia penuh perbedaan, termasuk perbedaan pemikiran.

Surya membelalak, seakan baru menyadari sesuatu.

Dari tadi, dirinya pun begitu.

Dark Memories



IC Youthpreneur Camp, sebuah ruang, konferensi, dan event tahunan berkumpulnya banyak pengusaha kuliner yang sukses dan berpengalaman, yang diadakan oleh IC Ventures. Pokoknya, yang terkenal karena prestasi, bukan sensasi. IC Youthpreneur Camp bertujuan untuk mengembangkan semangat berwirausaha agar mendorong lahirnya wirausahawan muda berbasis teknologi.

Acara ini berlangsung selama tiga hari. Dalam tiga hari itu, IC Youthpreneur Camp digelar untuk menjaring potensi pemuda, mencari peluang dalam membangun bisnis kuliner, sekaligus memperkaya pengetahuan seputar industri e-commerce. Puncaknya adalah ketika masing-masing kelompok peserta berkompetisi menjadi yang paling baik mempresentasikan ide bisnis kuliner mereka di hadapan para juri dan disaksikan peserta lainnya. Terpilih sepuluh tim yang akan mendapatkan pelatihan mengenai berbagai fundamental dalam berbisnis, terutama di era digital seperti sekarang, seperti desain produk, pemasaran digital, dan validasi bisnis. Tiga utamanya, berkesempatan mendapatkan modal ventura. Khusus yang pertama, ditambah uang hadiah dan liputan media.

Ada tiga bintang utama kali ini. Salah satunya Rindu Putri Gaharu. Rindu merupakan pendiri Kuch Kuch Hot Tahu yang sukses antarkan gerainya dan saat ini berskala di Asia Tenggara.

Kuch Kuch Hot Tahu, sesuai namanya, adalah sebuah restoran khusus menu tahu pedas. Tersedia level satu sampai enam belas yang menjadi tingkat kepedasannya. Menunya tak pernah berubah sejak pertama kali dibuka hingga tiga tahun terakhir. Mereka benar-benar fokus menjual olahan tahu pedas saja. Tetapi semenjak ibu Rindu, Gaharu, tidak bisa memakan makanan pedas lagi, Rindu mulai menambahkan berbagai varian rasa di Kuch Kuch Hot Tahu. Selain beroperasi sebagai gerai, Kuch Kuch Hot Tahu juga memiliki program untuk umum, yaitu melihat dan membantu di pabriknya secara langsung seperti apa proses pembuatan tahu dari awal hingga sampai ke penjualan.

Oke, itu cukup menjelaskan kenapa Rindu bisa menjadi bintang utama di IC Youthpreneur Camp tahun ini. Dia juga paling menjadi buah bibir seantero negeri di antara bintang utama dan bintang tamu lainnya. Tentu saja, bukan tanpa sebab.

Tak perlu seratus lebah untuk membuat mekar seratus bunga, sepertinya itu analogi yang tepat untuk penyebaran rumor yang sangat cepat bagai kilat. Setelah itu, kenangan-kenangan yang sudah lama tenggelam di dasar laut bisa kembali diangkat ke permukaan. Terakhir, muncul spekulasi-spekulasi tanpa lebih dulu dikonfirmasi. Begitulah ketika menjadi terkenal.

Katanya, desas-desus, Rindu bukan direkrut karena kesuksesannya, melainkan kisah menyedihkan masa lalunya. Dia juga dianggap terlalu muda di usia tiga puluh tiga tahunnya jika disandingkan dengan dua pebisnis yang usianya sudah setengah abad itu, sebab jelas, mereka lebih berpengalaman.

Tetapi, perkataan mereka bukan tolak ukur kebahagiaannya. Mengenakan long loose-fitting blazer dan celana wide leg dengan warna senada yaitu sage green yang membuatnya terlihat simpel tapi elegan, persis kepribadiannya, Rindu tetap menegakkan kepala dan memasang senyum terbaik di atas panggung, seolah menunjukkan hidupnya baik-baik saja tanpa terpengaruh apa pun. Semua menyambutnya ramah.

Hello ladies and gentleman. Welcome to Prolog, bersama saya, Om Darno. Hari ini ada salah satu bintang utama yang sangat istimewa. Adalah seorang perempuan yang dulu sering dianggap remeh namun sekarang jadi panutan kita rame-rame. Beri tepuk tangan untuk Rindu Putri Gaharu pendiri Kuch Kuch Hot Tahu!”

IC Youthpreneur Camp selalu ada Prolog, talkshow yang berdurasi kurang lebih setengah jam sebagai pembuka acara. Sebenarnya ini gelar wicara biasa yang berbicara tentang kehidupan, mengolah kisah nyata yang sering hadir di sekeliling menjadi sebuah cerita singkat yang menginspirasi. Klise. Namun, karena hal tersebut pula, menjadikan ini sebagai talkshow yang sangat relate bagi banyak peserta. Terlebih, mereka berkumpul di sini untuk alasan yang sama. Muda-mudi dari berbagai kalangan dan latar belakang berlomba untuk berbisnis.

“Rindu, masih banyak yang penasaran nih. Bagaimana sih, seorang Rindu Putri Gaharu pendiri Kuch Kuch Hot Tahu memulai kariernya?”

“Rindu, Om Darno. Rindu aja.”

“Rindu banget kali....”

Penonton ketawa.

Rindu juga tertawa kecil, lalu menanggapinya malu, “Bisa aja.”

“Baiklah, sekarang saya akan mulai bercerita,” lanjut Rindu, lantas mulai bercerita, “Semua berawal dari ketika saya lulus SMA. Ketika itu, saya harus mengorbankan kesempatan emas kuliah di kampus swasta ternama di Indonesia dengan beasiswa untuk sesuatu yang belum pasti, yakni berbisnis dan menunda kuliah. Karena meskipun biayanya sudah terpotong banyak, bagi saya yang nggak punya apa-apa ini tetap mahal. Apalagi berbarengan dengan kedua adik saya yang gantian masuk SMP dan SMA. Sementara ibu saya single mother. Beliau kerja sebagai tukang cuci-gosok di rumah beberapa tetangga sekampung. Selesainya, lanjut menjadi pedagang olahan tahu kaki lima.

“Keputusan saya memang nekat. Tapi saya yakin dengan keputusan saya dan itu sudah cukup bagi saya. Akhirnya, setelah lulus SMA, saya langsung merantau ke Jakarta untuk kerja dan ikut program semacam di IC Youthpreneur Camp ini, berkompetisi ide bisnis. Bedanya, dilakukan secara perorangan. Sebab hanya itu tempat untuk orang yang nggak punya uang, koneksi, dan pendidikan tinggi seperti saya. Puji syukur, saya berhasil menjadi nomor satu. Saya mendapat pelatihan dan juga membuka restoran kecil yang menyediakan sepuluh varian menu hidangan berbahan utama tahu. Saya menamakannya Kuch Kuch Hot Tahu karena terinspirasi dari film India favorit saya. Itu juga merupakan nama gerai ibu saya sewaktu menjadi pedagang kaki lima. Sekarang, sudah hampir lima belas tahun nyaman berada di dunia tahu-per-tahuan. Sepertinya itu menurun dari ibu saya.”

Rindu tersenyum, menatap lurus ke depan, ke arah seorang wanita paruh baya yang sedari tadi terus menyeka pipinya. “Itu beliau, teman-teman. Ibu saya.”

Semua menoleh. Orang-orang langsung bisa mengenalinya. Gaharu memiliki rambut yang sama dengan Rindu, ikal, bedanya hanya sepundak sementara Rindu panjang sepinggang. Cara berpakaiannya tidak berubah dari dulu. Masih mengenakan setelan hangat celana longgar dan kemeja yang dilapisi rompi rajut, kain leher tidak ketinggalan. Dari tempatnya duduk, sang ibu melambai-lambai sambil tersenyum dan memandang putri sulungnya itu dengan bangga.

Tepuk tangan para penonton mengakhiri kisah mengharukan ini.

Di sesi tanya-jawab, seorang pemuda bersetelan kerja dan berambut cepak berdiri. “Selamat pagi. Saya Damar Wiratama Putra Pertama. Saya berusia dua puluh tiga tahun.”

“Damar Wiratama Putra Pertama?” Rindu bergumam, familiar dengan nama itu. Nama si pemuda membawa Rindu kembali pada hari itu, beberapa tahun lalu. Kembali pada masa SMA, yang katanya adalah paling indah. Tapi untuknya, tidak. Sama sekali tidak.

Lebih dari lima belas tahun lalu, Rindu bukanlah siapa-siapa. Dia bukan orang penting apalagi kaya. Dia hanya seorang perempuan yang sudah terbiasa dengan penolakan, dalam hal apa pun itu, entah keluarga, pertemanan, dan banyak lagi.

Di SMA, Rindu menjadi korban penindasan.

Dia pernah bertanya ke mereka, “Kalian kenapa? Kenapa kalian suka ganggu aku? Memangnya aku salah apa sama kalian?”

“Apa lagi? Ya karena kamu jelek lah. Tahu, nggak? Rambut kamu yang keriting itu kayak rambut genderuwo.” Yang pertama, Mei. Tahu, kan, dalam kelompok pertemanan alias geng, pasti ada satu orang yang paling menonjol. Bisa dikatakan, Mei adalah itu.

“Badan kamu yang kurus kering itu kayak triplek.” Yang kedua, Siska. Dia seperti Bellatrix Lestrange, si abdi setia bosnya, Voldemort di Harry Potter. Bedanya, Siska melakukan semua karena ingin menunjukkan bahwa, ia pantas menjadi bagian dari geng. Sementara Bellatrix Lestrange tidak membutuhkan itu.

“Dekil, muka kamu kayak popcorn-ku yang kemarin jatuh.” Yang ketiga, Dinda. Kalau dia, di Harry Potter adalah Dolores Umbridge. Dolores Umbridge hanya berani ketika punya bekingan seperti Dementor atau Kementrian Sihir.

Mereka bertiga adalah teman sekelas Rindu. Ralat, bukan siapa-siapanya. Karena, bukan teman namanya jika menindas. Awalnya dari mengolok, bercanda. Tetapi lama kelamaan menjadi frontal bahkan menyebarkan fitnah bahwa ibunya menjual olahan tahu basi. Rindu sesekali melawan mereka, tapi tidak berdampak apa-apa. Jadi, Rindu pun memutuskan untuk melapor ke wali kelasnya.

Sekolahnya memiliki kebijakan tersendiri terhadap pendisiplinan siswa. Mereka menerapkan sistem poin. Selain mengurangi poin bagi yang melanggar peraturan, mereka juga akan memberikan poin tambahan bagi siapa yang melaporkan. Ketika Rindu dulu mengadu ke wali kelasnya, bukan dukungan atau belaan yang ia terima, tapi aduannya malah dikait-kaitkan dengan sistem poin.

Melihat tanggapan Bu Meta, yang acuh tak acuh itu, Rindu dengan gugup bertanya, “Apakah sebaiknya saya langsung ke BK atau bahkan kepala sekolah, Bu...?”

Bu Meta yang dari tadi fokus pada laptopnya, seketika menoleh. “Kamu yakin pelaku penindasan itu menjadi satu-satunya yang bersalah? Mereka seperti itu punya penyebab, misalnya iri. Mereka sedang nggak baik-baik aja. Yang waras harusnya bisa rasional.”

“Maksudnya, Bu?”

“Setiap hidup punya pilihan. Ketika kamu dirundung, kenapa kamu nggak memilih untuk melawan? Apalagi, ini hanya verbal, masih tergolong ringan. Jangan cengeng amat. Kamu selalu punya pilihan, menghadapinya atas usaha sendiri, atau hanya berharap keajaiban datang tanpa melakukan apa-apa?”

“Melapor seperti ini, apakah bukan termasuk usaha, Bu?”

“Maksudmu menyertakan orang lain? Bicara tentang pengambilan risiko dari menolong korban, bahwa mereka boleh jadi target selanjutnya? Bagaimana kalau itu ibumu? Ibu akan cari jalan keluar yang tidak akan memperluas masalah.”

Akhirnya, dilakukan mediasi kecil dan Bu Meta menjadi mediatornya. Dipertemukanlah Rindu, Mei, Siska, dan Dinda di ruang kelas yang tidak digunakan. Hanya mereka berlima.

“Kita cuma bercanda, Bu. Kita memang selalu seperti itu kok. Cuma Rindu lagi baperan aja waktu itu. Biasalah cewek, tamu bulanan, Bu.” Mei mewakili memberikan penjelasan kepada Bu Meta.

“Betul tuh Bu!” Siska dan Dinda menyetujui.

Bu Meta mengangguk mengerti. “Oh, begitu, Ibu paham permasalahannya. Ibu, kan, juga pernah muda. Dalam pertemanan memang terdapat pasang surut emosi, tetapi tidaklah sulit untuk saling memaafkan. Begini saja....”

“Maaf, tapi attitude nggak bisa dibercandain.” Rindu memotong ucapan Bu Meta.

“Rindu, mungkin hatimu kecewa. Tapi bukankah saling memaafkan itu lebih indah? Bukankah hidup ini akan lebih indah jika dijalani dengan kedamaian?” kata Bu Meta. Ya. Benar. Masalah penindasan itu berujung damai. Mereka meminta maaf melalui pernyataan tertulis dan lisan.

Apa yang terlihat, boleh jadi tak seperti yang kita lihat.

Selepas keluar dari ruangan, mereka langsung kembali lagi.

“Pegal tau nggak, nulis permintaan maaf begitu. Tapi, untungnya dunia ini hanya milik orang cantik dan kaya, Rindu sayang. Setidaknya kalau kamu miskin, ya jangan jelek.” Mei tersenyum puas, lalu menjulurkan lidahnya.

“Lah ini? Udah miskin, jelek, belagu lagi.” Dinda menimpali.

“Makanya, jadi anak pedagang kaki lima jangan belagu. Gitu aja pake segala ngadu, dasar tukang ngadu. Awas ya, kamu. Hidupmu nggak bakal tenang. Ketemu di jalan, aku gak segan tabrak pakai motor,” ancam Siska.

Lalu ketiganya berlalu.

Tersisa Rindu seorang.

“Ada apa, Bu?”

“Biasalah, Bu, namanya juga anak-anak.” Suara di dekatnya terdengar samar-samar.

Koridor seolah menjelma ruang gelap yang penuh dengan kehampaan dan Rindu sendirian berjalan melaluinya. Tenang, Rindu. Perasaan yang kamu rasakan ini wajar. Beberapa jalan atau langkah memang harus dilakukan sendirian. Ada cahaya di ujung terowongan sana yang bisa menjadi jawaban mengapa kamu berjuang melintasinya. Setidaknya, memercayai sesuatu macam ini membuatku punya harapan. Membuatku merasa masih ada yang perlu kutunggu. Membuatku untuk tidak menyerah dulu.

Bagi Rindu, cahaya itu adalah ibunya. Ingin Rindu berlari menjauh dari tempat ini. Tapi ibunya bilang, dia bahagia di sini, dagangannya lebih laris di sini, dan dengan begitu dia bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Rindu dan kedua adiknya. Mendengar itu, Rindu tentu saja bingung harus senang atau sedih. Tetapi, itu lebih dari cukup menjadi alasan untuk memilih bertahan di kota ini daripada pergi.

 Bukan. Bertahan itu bukan pilihan. Tapi keyakinan.

Sebelumnya, Rindu tinggal dengan ayahnya. Setelah Rindu lulus SMP, ayahnya ketahuan berselingkuh dengan rekan kerjanya, namun bukannya merasa bersalah, pria itu mengusir mereka dari rumah sendiri. Dan di sinilah Rindu, ibunya, dan dua adiknya berakhir, di tempat yang tidak jauh berbeda kejamnya.

Ketika kepada wali kelasnya, Rindu meminta perlindungan dari penindasan, itu bukanlah epilog dari masalahnya, melainkan membuat prolog baru. Karena besoknya....

“Ibu ingin menyampaikan hal yang seharusnya sudah dari dulu Ibu lakukan. Sejak menjadi wali kelas, Ibu harap nggak ada dari kamu semua yang mendapatkan surat peringatan, satu pun. Dengan diam-diam melaporkan teman kalian sendiri demi keuntungan sendiri, Ibu harap kalian tidak melakukan itu. Kelas kita adalah kelas unggulan. Kalau sampai ada yang melanggar peraturan, di situlah kualitas Ibu sebagai wali kelas dipertanyakan. Kalaupun memang ada, cukup lapor ke Ibu, nggak perlu ke BK apalagi kepala sekolah. Nggak usah cerita ke guru lain. Itu bukan sesuatu yang membanggakan. Ada banyak jalan keluar dalam mengatasi permasalahan selain mendapat surat peringatan. Terlebih, kalian tahu, kan? Lebih dari satu kali mendapat surat peringatan, kalian bisa diskors atau lebih buruk dikeluarkan dari sekolah. Jadi, tolong kerjasamanya.” Sebelum keluar kelas, Bu Meta sempat melirik Rindu dan Rindu tahu betul itu sindiran untuknya.

Sejak hari itu, Bu Meta berubah ketus padanya, perlakuan tak menyenangkan terus menimpanya. Terlebih beberapa hari kemudian, Rindu dipanggil oleh Kepala Sekolah karena sering telat bayar SPP. Sebagai wali kelas, Bu Meta ikut andil mengurusinya, bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Namun, begitu tahu kalau dia hanya hidup dengan ibu dan dua adik, nilai-nilai Rindu di mata pelajarannya tidak pernah lebih dari KKM.

Rindu adalah siswi aktif di kelas. Terkadang, ketika kurang setuju dengan apa yang dijelaskan karena tidak sesuai seratus persen seperti yang ada di buku, jadi Rindu selalu bertanya. Tetapi, Bu Meta mengatainya terlalu banyak tanya.

Rindu juga selalu menjawab pertanyaan yang diberikan, meski sudah mengangkat tangan tinggi-tinggi, Bu Meta sering tak acuh atau sekali menanggapi dengan tidak mengenakkan.

“Ada yang tahu, global warming terjadi di lapisan atmosfer bagian apa?” Rindu mengangkat tangan, disusul oleh Tari si ketua kelas beberapa detik kemudian. “Ya, Tari, silakan.”

“Stratosfer bukan, Bu? Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya penurunan suhu di lapisan stratosfer yang merupakan bagian atmosfer bawah pada posisi antara troposfer dan lapisan ozon.”

“Ada yang lain? Enggak ada yang tahu, nih?”

Karena semua diam, Rindu langsung menjawab, “Peristiwa global warming jika fokus pada efek rumah kaca, maka peristiwa tersebut ada di lapisan troposfer. Sedangkan global warming jika fokus pada lubang ozon, maka peristiwa tersebut ada di lapisan stratosfer.”

“Rindu, kamu bicara tanpa izin lagi di kelas saya. Ini sudah ke sekian kalinya. Poin kamu saya kurangi lima.”

Mei yang duduk di belakang Rindu, tertawa, kemudian menjambaknya. Kepala Rindu jadi tertarik ke belakang dengan keras. “Sabar, ya. Kamu memang pandai sih, pantas aja, karena kan kamu jelek. Kalau cantik mah, nggak perlu susah-susah jadi pintar buat dilihat orang lain. Lihat sendiri, kan?” bisiknya tepat di telinga Rindu.

Lingkungan sekolah dengan orang-orang dewasa yang tidak peduli, apa yang bisa diharapkan? Penindasan yang diterimanya semakin parah. Bukan hanya secara verbal, tapi juga secara fisik. Meskipun sekelas mengetahuinya, bahkan sering melihatnya, namun tidak ada sama sekali yang berani menolong Rindu. Semuanya terhasut sebab, selain fitnah jual tahu basi, Mei memberitahu bahwa orang yang disinggung Bu Meta adalah Rindu. Oleh karena itu, mereka mulai menjauhi dan mengucilkan ‘Rindu Si Tukang Ngadu’. Mereka berpendapat orang yang diam-diam menusuk seperti itu memang pantas mendapatkannya.

Beberapa malah ikut-ikutan mengolok-olok, apalagi tentang rambut ikal mekar Rindu.

“Kamu jangan duduk di depan, kasihan yang di belakangmu nggak bisa lihat papan tulis gara-gara rambutmu!”

“Kamu kok ke mana-mana bawa sarang burung di kepalamu?!”

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat mendidik, malah jadi semacam momok menakutkan. Tentu saja, Rindu tertekan, terlebih dia memendam semua sendirian, hanya menuliskan dalam buku harian. Rindu tidak melawan, tidak mengadu pada siapa-siapa. Kalau melakukan itu, maka risikonya, besok bisa jadi lebih buruk daripada hari ini. Apalagi Mei berasal dari keluarga berada, jadi, Rindu makin tidak punya kuasa untuk melawannya. Ketika aduannya kepada Bu Meta dituduh sebagai niat jelek waktu itu, di situlah ia berhenti untuk melakukannya lagi. Kalaupun ia mengadu lagi, percuma saja, mereka hanya disuruh minta maaf dan bakal terulang lagi. Begitu pikirnya.

Itu membuatnya menghabiskan sebagian besar waktu tenggelam dalam pikiran negatif. Rambutku memang ikal dan super mengembang, tubuhku memang kecil, dan aku memang dekil. Aku juga miskin. Apa yang mereka bilang, benar adanya. Maka, aku pantas ditindas.

Pikiran negatif itu perlahan menguasai dirinya, membuatnya merasa tidak berguna lagi, seperti tidak ada harapan. Ia merasa tidak berharga, merasa tidak ada yang peduli, merasa sendirian. Hasilnya, itu mengganggu aktivitas sehari-hari dari nafsu makan memburuk sampai sulit tidur.

Rindu dapat dengan mudah terbangun oleh suara kipas angin. Dalam pikirannya, itu adalah suara buku tebal yang melayang, berputar-putar di udara dan hendak menghantam kepalanya. Di kelas, kalau Rindu tidak menyahuti panggilan Mei, Mei selalu melakukan itu. Itu menjadi bayang-bayang yang terbawa sampai mimpi.

Sang ibu pernah mendapatinya di beberapa malam. Tapi Rindu selalu berbohong, “Aku cuma mimpi buruk, Bu, kayaknya karena lupa baca doa tidur hehehe.”

Meski tidak pernah mendapatkan tidur yang nyenyak lagi, Rindu tetap harus meneruskan hari esok. Tetap harus datang ke sekolah. Dia tetap harus siap di pagi hari, berangkat, dan dia sangat membenci itu. Belakangan juga yang menyambut suasana paginya adalah awan mendung, gelap sekali, mirip sekali dengan hidupnya yang terlalu gelap.

Tidak lama, hujan deras menyusul tanpa gerimis dulu. Petirnya bersuara lantang. Khawatir putrinya kehujanan, Gaharu membuatkan jas hujan dari kantong sampah plastik untuknya. Tetapi, itu sia-sia....

Sesampainya di sekolah, ketika sedang membungkuk memasukkan jas hujan spesial itu ke ke ranjang sepedanya, tiba-tiba tasnya ditarik kuat dari belakang. Rindu yang kaget dan kehilangan keseimbangan, terhuyung mundur hingga tubuhnya terduduk di aspal. Bukan itu saja, tasnya juga diambil oleh Siska dan diserahkan pada Mei.

Rindu bangkit berdiri. “Balikin tas aku,” pintanya dengan tegas.

“Memang kamu siapa? Seenaknya nyuruh-nyuruh.”

Dengan kaki gemetar karena rasa marah yang menyergap, Rindu mendekat, berniat mengambil tasnya. Tetapi Mei langsung melempar ke Dinda. Rindu beralih padanya, Dinda mengopernya lagi ke Siska. Terus seperti itu. Seperti bermain kucing-kucingan, ah bukan, kucing-kucingan terlalu halus, melainkan anjing-anjingan dan Rindu menjadi anjingnya. Rindu berada di tengah mereka, menjadi anjing yang berhasrat mengejar mainan yang dilempar oleh tuannya, dalam hal ini adalah tas. Mereka sukses memperdayanya ke sana ke mari. Sampai akhirnya, Siska mengakhiri permainan dengan melempar tasnya jauh ke area yang tidak beratap.

Rindu tetap mengambilnya di bawah derasnya hujan. Bajunya basah. Sia-sia ibu dari pagi buta mencari kantong plastik ke tetangga-tetangga, membuat jas hujan sepesial itu untukku, agar aku tidak terkena hujan, agar aku tidak sakit. Maaf, Bu.

Sekembalinya, Mei, Siska, dan Dinda masih berada di tempat, menertawakannya.

“Eh, eh, eh, bentar deh.” Tawa Mei terhenti. Seragam Rindu yang menjadi transparan akibat kehujanan lebih menarik perhatiannya. Lebih tepatnya kaos biru yang menjadi dalaman, yang samar-samar nampak. Tanpa diduga, Mei langsung membuka kemeja Rindu secara paksa hingga beberapa kancing terlepas. Dengan mudah dia merobek seragamnya, padahal ibu Rindu perlu tiga hari mengumpulkan uang untuk membeli seragam itu.

Ditatapnya kaos itu. Bergambar bunga-bunga yang dihinggapi lebah. Seketika Mei tertawa. Bersamaan dengan itu, dia melepas jaket merah mudanya, menampilkan kaos yang sama dengan yang dipakai Rindu, hanya saja.... “Nih, yang ori. Kupu-kupu, bukan lebah. HAHAHA.

“Apa sih, kamu mau punya baju samaan kayak aku? Tapi karena orang tua nggak mampu, jadinya beli yang KW? Nih, aku kasih tahu caranya. Sana beli minuman gelasan, minum sampai habis biar enggak mubazir, habis itu lubangin penuh atasnya. Dah, tinggal ngemis di pinggir jalan,” lanjut Mei, lalu tertawa sampai terbahak-bahak.

“Yuk, cabut. Hiburan pagi ini udah cukup." Mereka berlalu.

Rindu memandang punggung mereka yang kian menjauh sambil mengepalkan tangan penuh amarah, lalu menunduk dalam, tetes demi tetes air mata membasahi pipi. Dia ingin mengeluarkan semuanya, tapi tidak mampu. Pada akhirnya, balik lagi, air matalah yang mengkomunikasikan perasaannya. Waktu masih kecil belum bisa bicara, menangis menjadi cara paling mudah untuk berkomunikasi. Sekarang masih sama.

Bedanya, dulu, bukan hati, tapi lutut dan kaki yang terluka saat sedang bersama teman-teman, teman-teman yang polos, teman-teman yang hanya mengenal kawan dan bukan lawan, demikian Mei, Siska, dan Dinda di masa itu. Maksudnya, di masa itu, meski tidak tahu di mana, intinya di suatu tempat, mereka hanya anak kecil, sama dengan Rindu. Tidak ada yang menyangka, mereka tumbuh menjadi penindas kejam.

Karena terlalu lama larut dalam kesedihan, Rindu jadi terlambat setengah jam masuk kelas, dan langsung mendapat tatapan menghujam dari Bu Meta. "Ganggu konsentrasi aja," ucapnya sambil menghela napas.

“Maaf Bu, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”

“Lain kali jangan telat makanya! Apalagi hari ini jadwal kamu piket, harusnya datang lebih pagi, bukan ngaret begini. Nanti jangan langsung pulang. Bersihkan kelas dulu!"

“Baik, Bu.”

“Lepas jaket kuningmu itu.”

“Tapi, Bu....”

“Peraturan sekolah, nomor tujuh, tidak diperbolehkan memakai jaket tanpa izin. Saya sebagai guru selalu mencontohkan menggunakan baju dinas saat di kelas, tapi kesannya kamu malah sedang bersiap untuk main-main dibandingkan belajar.” Saat Rindu sudah melepas jaketnya, Bu Meta semakin menatapnya tajam. “Apa-apaan itu kemejamu nggak ada kancingnya? Mau berlagak jadi jagoan? Ibu heran, kok bisa guru Matematika bilang orang macam kamu itu siswa berprestasi. Bahkan, saya ragu kamu bisa lolos perguruan tinggi.”

Bu Meta menyuruhnya keluar. Tanpa memberikan pembelaan apa-apa, Rindu keluar, melangkah menjauh dari kumpulan manusia jahat itu. Ya, Rindu menyebutnya jahat. Sebab mereka selalu menertawakannya, tak pernah tertawa bersamanya, bahkan sekali pun.

Bu Meta yang sering membuat Rindu merasa malu dengan menegurnya, atas segala hal dan atas segala kesalahan bahkan sekalipun yang tidak diperbuatnya, tidak lagi bisa memengaruhi perasaannya, seperti terluka atau terhina. Sebab saat hati tersakiti, maka rasa ikut mati. Rindu sudah terlanjur tidak peduli.

Hidupnya seperti terpola. Pagi di sekolah, mereka membuka hari Rindu dengan menarik tas yang dia gendong di pundak seperti tadi. Selama di sekolah, rasanya tidak perlu menjelaskannya, sebab ini adalah bagian paling memuakkan, baik tentang Mei, Siska, dan Dinda atau tentang Bu Meta. Terakhir, pulang sekolah, mereka tidak membiarkannya keluar kelas, menguncinya sendirian di kelas. Saat memberontak, matanya malah disemprot dengan parfum Mei. Itu terjadi terus menerus dan berulang-ulang menjadi pola.

Untungnya, ada satpam yang selalu datang untuk menyalakan lampu. Berkali-kali pak tua itu bertanya ada apa. Berkali-kali juga, Rindu berbohong. “Saya ketiduran di kolong meja, Pak. Kebetulan saya pindah di paling belakang. Jadi teman-teman nggak sadar,” jawabnya sambil nyengir, lalu mengucapkan terima kasih.

Setelah itu, seperti biasa, Rindu mencari sepedanya. Ternyata, kali ini mereka tidak menyembunyikannya. Tetapi mempretelinya, mencopot keranjang, rantai, dan kedua bannya. Katanya, Mei sedang berulang tahun dan ini adalah hadiah dari Siska dan Dinda.

Rindu pergi tanpa membawa sepedanya. Ia memutuskan untuk naik angkot. Setelah sepuluh menit menanti, akhirnya datang juga. Di dalam angkot, ia memilih duduk di pojokan, menyandarkan tubuhnya, kemudian memejamkan matanya. Rindu pergi ke alam lamunannya, tempat ia bahagia. Namun saat merasa bahagia, saat itu pula waktu terasa cepat berlalu.

“Neng?”

“Ya?”

“Ini sudah di pemberhentian terakhir.”

“Oh, maaf, Bang.” Rindu beranjak, lalu turun.

Setelah membayar ongkosnya, Rindu menelusuri trotoar yang lebih sering dipijak kendaraan roda dua itu. Dia tidak tahu mau ke mana atau harus ke mana, tidak tahu mau apa, yang jelas ingin saja melangkah pergi.

Di antara gedung-gedung yang menjulang, mal yang paling menarik perhatiannya. Membuatnya teringat dengan masa lalu. Dulu, Rindu terakhir kali pergi ke tempat macam ini adalah ketika masih bersama ayahnya. Inilah tempat bahagianya terakhir kali. Sempurna sekali menemaninya yang sedang sedih ini.

Akhirnya, Rindu memutuskan untuk pergi ke sana. Rindu berjalan di jembatan penyeberangan karena mal terletak di seberang. Timbul niat dalam dirinya, ingin hanyut lagi dalam lamunannya, supaya ketika lampu merah berubah hijau untuk para pengendara lalu ada kendaraan dari orang-orang yang tak sabaran lewat, ia takkan menyadarinya. Mobil atau motor itu akan langsung menghantam tubuhnya, membawanya ke dimensi lain yang lebih bersahabat daripada di sini.

“Rindu.”

“Ya?” Rindu menoleh. Kiranya dipanggil, ternyata itu seorang pria yang sedang berbicara di telepon dengan kekasihnya. Omong-omong soal kekasih, masih bisakah Rindu mengharapkan hal itu? Hal yang dilakukan kebanyakan remaja lain di usianya. Berhenti bereskepetasi, Rindu.

Rindu pergi ke mal. Seketika ia merasa seperti orang asing. Dia tidak pernah merasakan dinginnya penyejuk udara di pusat perbelanjaan lagi setelah berpisah dengan ayahnya. Rasanya seperti menusuk kulit. Jaket kuning yang ia kenakan tidak mampu menahannya.

Tempat pertama yang dikunjunginya adalah toko kosmetik, mencoba make up tester. Dia memoleskan langsung ke wajah, mata, dan bibir. Walau terdengar sangar berisiko karena sudah bersentuhan dengan puluhan bahkan ratusan pembeli yang datang. Tapi Rindu tidak punya uang, sedang ia ingin orang-orang mengenangnya sebagai gadis yang cantik.

Setelah berdandan gratisan, Rindu berkeliling mencari makanan. Bola-bola ayam krispi berhasil mencuri perhatiannya. Soalnya harganya pas di kantong.

“Tolong satu dibungkus, Bu, yang manis aja. Sebab hidup saya sedang tawar. Ah, tidak. Maaf, ganti jadi yang pedas, yang sepedas hidup.” Tidak lama, pesanannya siap. “Terima kasih. Ini adalah makanan terakhir dalam hidup saya.”

Sebelum si ibu berkata apa-apa, Rindu pergi, agar si ibu tak perlu bertanya, “Ada apa?”

Atap gedung, bola-bola ayam krispi, dan matahari terbenam. Rindu sudah berada di atap gedung pusat perbelanjaan yang dikunjunginya, berdiri di dekat pagar beton yang menjadi pembatas, menghadap ke arah parkiran mal agar tidak banyak orang melihatnya. Ia menikmati jajanan sambil menikmati syahdunya suasana sore, melihat matahari yang terbenam untuk terbit kembali. Seharusnya, matahari terbenam adalah kesempatan untuk Rindu, untuk menghargai hidup. Tapi, ini hidupnya, maka harus keputusannya.

Senja tiba-tiba menghilang. Bukan tiba-tiba, deh. Kan, senja memang selalu seperti ini. Datang hanya sejenak, lalu pergi. Padahal, ia hadir belakangan, tapi pulang paling cepat. Senja persis anak yang malas salat Jumat.

Setelah senja pergi, seperti biasa, tergantikan keremangan malam, menyisakan kehampaan. Rindu menengok jam tangannya. Pukul setengah tujuh malam. Artinya dia sudah bisa mengucapkan selamat malam. Bagi Rindu, ucapan selamat malam adalah ucapan penghargaan untuk seseorang karena telah berhasil melewati harinya.

“Selamat malam, Rindu,” ucapnya sendiri. Penghargaan karena bisa sampai sejauh ini.

Tinggal satu lagi yang perlu dilakukannya. Rindu tidak mungkin pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan pada ibu dan kedua adiknya.

Bu, jangan kaget ya, kalau dengar kabar aku udah nggak ada. Hari ini, aku menyerah dengan penindasan di sekolah. Ibu nggak usah mencari tahu lebih lanjut tentang itu. Aku nggak ingin ibu terlibat dalam masalah. Itu kenapa aku memendam semua sendirian, hanya menuliskannya di buku harian. Sekarang, aku nggak sanggup lagi. Makanya aku memilih untuk mengakhirinya. Sampaikan untuk adik, jangan mudah menyerah agar tidak seperti kakaknya. Untuk Ibu, terima kasih dan maaf. Terima kasih selalu percaya dengan mimpi-mimpiku, menjadi seorang koki dan pengusaha kuliner. Dan maaf, aku nggak bisa mewujudkan itu. Kenyataannya, aku menjadi anak yang gagal. Aku selalu merepotkan bahkan sampai akhir hayat. Selamat malam, Ibu dan adik-adik Kakak.

Tulis Rindu di secarik kertas.

Rindu naik ke pagar beton, berdiri di atasnya, tanpa peduli bahwa yang ia lakukan mencuri perhatian orang-orang di sekitar gedung—bahkan beberapa mulai merekam situasi mencekam ini dengan gawai mereka. Rambut Rindu melambai-lambai seolah mewakili dirinya untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Dari atas sini, semua orang terlihat kecil di bawah. Apakah nanti akan jauh lebih kecil jika aku melihatnya dari dimensi lain? Apakah aku akan benar-benar pergi ke dimensi lain itu?

Dan apakah-apakah lainnya. Memikirkan itu, matanya tanpa sadar berair. Tidak tahu karena angin atau keputusan yang dibuatnya? Dalam hati, ia terus bertanya, benarkah keputusan yang kubuat? Lalu terus menjawab sendiri, lingkunganku tidak mendukung, aku sudah terjebak di dalamnya, tidak bisa keluar dari lingkaran itu, maka jalan satu-satunya adalah aku harus enyah, bukannya begitu?

Sebagian dari dirinya, mengatakan iya. Tapi, sebagiannya lagi ragu, mengatakan tidak. Ia justru bertanya, untuk apa? Tanpa sadar, Rindu masih mencari alasan untuk hidup.

Dan, dia menemukan itu.

Ibu penjual ayam krispi datang bersama empat petugas pemadam kebakaran. Mereka menyiagakan mobil tangga dan bantalan berupa kasur di tanah. Mereka berusaha keras membujuknya. Mereka bersatu untuk menyelamatkan nyawanya. Mereka menginginkannya hidup.

Tetapi, di bawah sana, orang-orang yang mulai membentuk kerumunan bersorak ramai-ramai,

“Dasar cari perhatian! Kalau mau loncat, loncat aja!”

“Lompat, lompat, lompat!”

“Jangan banyak drama, langsung aja!” Seringkali, menantang individu untuk melaksanakan rencana bunuh diri dianggap akan mengurangi pelaksanaan perilakunya. Faktanya, kalimat-kalimat tersebut sesungguhnya tidak mencegah, melainkan menyepelekan niat bunuh diri seseorang. Yang Rindu lihat, mereka menunggunya mati.

“Tunggu sebentar.” Si Ibu penjual ayam krispi mendekat beberapa langkah.

“Jangan mendekat!” Rindu berbalik, menatapnya tajam.

“Baiklah. Dari sini saja.”

Sama seperti para pahlawan berjasa lainnya, dia mencoba melakukan pendekatan dengan obrolan penuh perhatian, mulai dari menanyakan kabar dan menanyakan rencana tentang hari esok.

Rencana tentang hari esok menjadi percakapan terakhir Rindu, sebelum telinganya berdenging. Kepalanya pusing, pusing sekali, seperti melayang. Pandangannya juga mulai kabur. Rindu sesekali memejamkan mata, berusaha untuk tetap berdiri. Namun pada akhirnya, ia pingsan. Beruntung, ia terjatuh di pundak pemadam kebakaran yang segera mendekatinya, bukan di tempat yang tidak diharapkan.

Ketika matanya terbuka, Rindu melihat sudah berada di ruangan serba putih.

“Hai, Sayang... kamu ada di rumah sakit sekarang dan kondisimu baik kata dokter.”

Suara ibu penjual bola-bola ayam krispi yang duduk di samping tempat tidurnya, menyapa Rindu. Mendengar ibu itu berkata demikian, gumpalan air di matanya tiba-tiba menguap. Rindu menangis. Dengan suara lemah dan terbata-bata, ia berkata, “Kenapa?”

Si Ibu menatapnya bertanya.

“Kenapa Ibu malah menyelamatkan saya padahal saya ingin mati?!”

“Astaga! Hei, hei, jangan dilepas jarum infusnya, Nak. Kamu masih belum—“

“Ibu punya hak apa atas hidup saya?!” Setelah jarum infusnya terlepas, Rindu berusaha bangun walau kepalanya masih belum hilang pusingnya, lalu turun dari kasur. Baru saja menginjakkan kaki di lantai, ia hampir tumbang lagi.

Ibu penjual ayam langsung merangkulnya. Sambil membantu Rindu membenarkan posisi berbaring, ibu itu meminta petugas yang berjaga di depan ruangan untuk memanggil dokter.

Rindu terus memberontak. “Daripada hidup tapi kesakitan, mendingan mati sekalian!”

“Berhenti, Nak!” Ibu itu membentaknya. Membuatnya ikut diam. Rindu menunduk karena tidak berani menatapnya. Bagaimanapun, ia tetaplah hanya seorang remaja yang takut pada orang dewasa. Ia lalu menangis semakin hebat. Ia menangis sampai ia tidak bisa lagi mendengar suara tangisannya sendiri. Ya, sebesar itu memang kesedihannya.

“Gapapa, nangis aja,” kata ibu penjual ayam krispi sambil memeluk dan mengusap rambutnya. Dalam pelukan hangatnya, Rindu menumpahkan segala kesedihan yang selama ini dipendam sendirian. “Ibu minta maaf karena membuat kamu ada di sini, tapi mulai hari ini, hidup tidak akan seburuk kemarin. Ibu janji.”

Tidak lama, dokter bersama perawat datang, kembali memasangkan infusnya. Sampai akhirnya, Rindu bisa sedikit tenang. Rindu baru menyadari ternyata si ibu tidak seorang diri di sini, tapi membawa anaknya. Anaknya laki-laki, malu-malu bersembunyi terus di belakang badan si ibu.

“Namanya siapa?”

“Hei, Kakaknya nanya tuh.”

“Damar Wiratama Putra Pertama, Kak.”

Balik lagi ke lima belas tahun kemudian.

Di auditorium, setelah memperkenalkan dirinya, Damar mengajukan pertanyaan kepada Rindu, “Mbak Rindu, kan, panutan banyak orang. Tapi Mbak Rindu sendiri punya tidak sih, sosok yang dijadikan panutan?”

Benar, itu dia, batin Rindu. Selama sepuluh tahun, Rindu selalu mencarinya dan akhirnya hari ini tiba. Rindu selalu mengingat perempuan yang menyelamatkannya dan ingatan itu tertinggal di benaknya, hingga kini.

Rindu tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Damar, “Mbak Belandina Heyatubun. Saya pertama kali melihat di televisi. Dia diundang menjadi bintang tamu di acara itu, sebagai seorang pengusaha sukses di bidang fesyen yang berangkat dari hobinya. Di sana, beliau cerita pertama kali mendirikan usahanya, beliau kesulitan mendapatkan investor karena banyak yang meragukan dirinya, yang merupakan keturunan Papua. Mbak Belandina juga cerita, karena rasnya itu, dia pernah mengalami penindasan di SMA, karena badannya pendek, kulitnya sawo matang, dan rambutnya kribo. Waktu melihat beliau, saya menyadari satu hal yang langsung mengagetkan saya, ‘Loh Mbak itu sama kayak gue dong!’

Saya kaget dan sekaligus bahagia. Titik terberat dalam hidup saya adalah ketika mereka mengolok-olok saya, katanya karena saya pendek, dekil, dan rambut saya keriting. Saya istirahat beberapa hari untuk merenung, meresapi semua makna di balik kenangan pahit yang diberikan Tuhan. Beruntung sekali, ketika berdiam diri itu, saya menemukan siaran ini.

Selama ini, saya hanya mengenal figur publik perempuan sebagai sosok yang harus tinggi, putih, dan rambutnya ikal atau lurus. Tapi, dia berhasil membuktikan bahwa semua perempuan bisa menjadi seperti yang mereka inginkan. Saat itu, kepercayaan diri saya langsung seolah mengucur deras dari langit. Memang terdengar terlalu optimis, namun itulah masa muda.” Rindu tersenyum nostalgia pada Damar.

Tak sabar Rindu mengobrol dengannya. Makanya, setelah Prolog selesai, di atas atap gedung tempat acara dilaksanakan, Rindu langsung menemui Damar.

“Sampaikan pada ibumu, terima kasih sudah menunjukkan respons sebagai orang yang bertanggung jawab. Dalam peristiwa yang tidak terduga, ketika ada anak berumur tujuh belas tahun yang ingin mengakhiri hidupnya, alih-alih mengatakan bahwa masalah yang saya alami tidak seberapa dengan yang akan datang di masa depan. Beliau memilih untuk peduli dan bertindak, memilih menyelamatkan sesama manusia dan tidak membiarkannya sendiri.”

“Ibu saya? Maksudnya, Mbak? Aduh, saya kurang paham. Mbak Rindu, saya sangat mengidolakan Mbak. Tapi, saya nggak mau mengambil kesempatan dalam kebohongan untuk membuat relasi dengan Mbak. Kayaknya Mbak salah orang. Itu Damar yang lain, bukan saya.”

“Ahaha. Wajar kalau kamu lupa. Kamu masih berumur tujuh tahun ketika itu. Hmmm, nama kamu siapa?”

“Damar Wiratama Putra Pertama.”

“Kamu anak pertama? Atau kamu anak laki-laki pertama di keluargamu?”

“Bukan keduanya. Saya anak bontot dan anak laki-laki terakhir.”

“Sekarang, aku semakin yakin kalau aku nggak salah orang. Damar dulu juga jawab begitu waktu aku tanya. Tempatnya di rumah sakit.” Melihat Damar yang mulai mengubah raut wajah, Rindu tersenyum. “Bagaimana? Sudah ingat?”

“Lama tidak berjumpa, Kak Rindu. Senang bertemu lagi sama Kakak. Bagaimana kabar Kakak? Apa Kakak baik-baik aja?” Damar nyengir. Lagi-lagi Rindu tertawa dibuatnya. Damar lanjut bertanya, “Bagaimana kelanjutan setelah itu? Apa Kakak mendapat keadilan?”

“Kupikir kamu sudah mengetahuinya. Banyak media yang mengulik lagi masa laluku. Apalagi, semenjak aku diundang di IC Youthpreneur Camp.”

“Infotainmen terkadang melebih-lebihkan.”

“Hmmm. Baiklah.”

Kelanjutannya?

Rindu tertidur. Ketika membuka mata lagi, Damar dan ibunya sudah tidak ada di ruangan. Wajah Gaharu yang kali ini ada di depan Rindu. Ia langsung tersenyum senang, tapi seketika berubah seperti awan mendung melihat raut muka sedih Gaharu.

“Ibu....”

“Kenapa Rindu nggak pernah cerita sama Ibu?” Gaharu membelai rambut anaknya yang sudah dewasa itu. Ini yang ditakutkan Gaharu. Ketika Rindu dewasa, Rindu memendam semua masalah sendirian. Gaharu merasa sedikit kehilangan sosok kecil yang dulu sangat bergantung padanya. Hatinya ikut terluka, sangat terluka, saat mengetahui anaknya hampir bunuh diri karena menjadi korban penindasan yang dilakukan oleh teman-temannya. Dia sedih dan marah. Dia tidak terima Rindu mendapat perlakuan itu, tentu saja.

“Ibu....” Rindu menangis lagi, entah sudah ke berapa kali untuk waktu satu hari.

“Ibu punya teman psikolog kalau kamu mau cerita. Supaya bisa leluasa, ibu nggak bakal dengarin rahasia kamu deh. Ibu janji.” Namun, Gaharu bukan manusia yang bertindak gegabah. Ia fokus melindungi Rindu terlebih dahulu daripada menghakimi pelaku dan malah berbalik melakukan penindasan kepada anak itu. Apalagi, video percobaan bunuh diri itu viral. Kejadian kemarin seakan membuat semua orang kebakaran jenggot, ada pula yang merasa prihatin. Ada pula yang bereaksi, memberikan komentar seperti,

Di-bully doang udah mau bundir, lemah! Baperan amat jadi orang

Elah, cupu banget sih, lebay lo! Gitu aja pengin mati

Halah, mati aja, cari sensasi lo!

Ada juga yang menyampaikan komentar dengan maksud baik, namun jatuhnya malah salah kaprah. Misalnya,

Pasti kamu nggak dekat sama Tuhan, makanya pengin bunuh diri

Susah sih kalau orangnya, pada dasarnya, ga punya sifat sabar

Kurang ibadah pasti deh!

Satu komentar buruk bisa menenggelamkan sejuta komentar baik. Satu komentar buruk bisa membuat depresi. Satu komentar buruk bisa menyebabkan seseorang ingin bunuh diri. Dan, Gaharu tidak mau itu terjadi lagi pada Rindu, makanya, hal pertama yang dilakukannya adalah melindungi Rindu.

Tetapi tetap, Gaharu tetap mencari keadilan. Setelah Rindu keluar dari rumah sakit, dipertemukanlah Rindu, Mei, Siska, Dinda, orang tua mereka, dan Bu Meta di sekolah untuk menyelesaikan masalah.

Pihak yang pro Rindu, menginginkan Mei, Siska, dan Dinda dikeluarkan dari sekolah agar bisa mendapatkan efek jera, sekaligus sebagai hukuman atas perbuatan mereka. Begitu yang mereka bilang.

Sementara itu, pihak lain bilang, seharusnya tidak sampai dikeluarkan dari sekolah. Sebab dikeluarkan dari sekolah belum tentu membuat jera, justru menimbulkan masalah baru. Bagi yang berasal dari keluarga kaya kaya, bisa jadi menyepelekan, santai-santai saja. Dianggapnya selama masih ada uang, pasti akan mudah mendapatkan sekolah. Bagi yang miskin, sekolah mana yang mau menerima mereka? Mereka akan kesulitan diterima. Padahal, mereka membutuhkan pendidikan, terutama untuk memperbaiki karakter mereka, dan mereka berhak untuk itu. Mereka juga remaja, juga punya masa depan.

“Pelaku penindasan selalu ditempatkan sebagai penjahat. Padahal mungkin mereka pernah menjadi korban. Ada cerita yang perlu dipahami dari pelaku di balik perbuatannya. Pernahkah kita memikirkan bagaimana perasaan dan kisah panjang di balik pelaku penindasan?” Bu Meta bersuara di tengah dua kubu yang saling ribut.

Ternyata, Bu Meta dulu pelaku penindasan. Tetapi, sebelumnya ia merupakan korban, korban dari perundungan yang berkepanjangan. Bermula dari menolong seorang teman, ia justru menjadi target selanjutnya. Sehingga, berperilaku agresif adalah satu-satunya cara untuk melindungi diri. Ia merasa kesal, marah, hingga keinginan untuk balas dendam. Akhirnya, ia menjelma pelaku penindasan.

Itulah kenapa, Rindu didorong dia untuk melawan penindasan sendirian, tanpa melibatkan siapa pun. Ia tidak mau ada orang lain yang jadi bernasib sama dengan dirinya. Dan itulah kenapa, ia memaklumi Mei.

Di pertemuan ini, ada polisi juga. Polisi melibatkan psikolog yang akan mendampingi para remaja di bawah umur itu. Katanya, dalam penanganan kasus penindasan di sekolah, psikolog itu satu paket, sehingga akan mengetahui penyebab pelaku melakukannya. Dan, benar saja, Mei mau bercerita.

Mei adalah korban penindasan secara tidak langsung. Ia diberikan tuntutan tidak masuk akal. Ia harus menjadi sempurna. Dalam akademi, patokannya adalah Rindu. Kalau bicara soal ini, Mei mungkin berada di paling bawah dan Rindu nomor satu. Sebab ia lebih menyukai dunia kecantikan, tata rias. Potensinya ada di sana. Tapi Mama Papa Mei tidak tahu itu. Mereka tidak pernah bertanya. Waktu mendapat peringkat terakhir, mereka bilang, harusnya dengan kenikmatan yang dimilikinya, ia tidak kalah. Apalagi, kalahnya oleh anak pedagang tahu kaki lima.

Di sekolah juga sama, bahkan proses membanding-bandingkan lebih kuat. Beberapa guru memiliki anak emas yang sering dijadikan patokan kesuksesan untuk siswa yang lain. Di setiap jenjang selalu ada, seolah hal itu digeneralisasi, baik di SD, SMP, maupun SMA. Bu Meta, awalnya ia termasuk seperti guru matematika yang selalu memuji Rindu, namun kemudian menyadari. Makanya, ia mengubah sikap pada Rindu.

Karena terus-menerus dibandingkan, lama-kelamaan melahirkan rasa iri, yang kalau mengendap terlalu lama, bisa membuat membenci tanpa alasan. Selain membenci orang-orang yang membandingkannya, ia juga membenci teman yang dijadikan pembandingnya. Cara tersimpel lari dari masalah, menurut anak, adalah mencari pelarian. Sayangnya, pelariannya tidak selalu positif. Dalam hal ini, Mei menindas Rindu.

Jadi, siapa yang patut disalahkan dalam penindasan ini?

Sampai lima belas tahun kemudian, Rindu masih belum tahu jawaban dari pertanyaan itu. Oh iya, penindasan itu selesai dengan Mei, Siska, dan Dinda yang dipindahkan ke sekolah lain sembari diganjar sanksi berupa terapi perilaku. Sementara Bu Meta dimutasi ke luar Dinas Pendidikan.

Rindu menyudahi ceritanya.

“Mbak memaafkan mereka?” tanya Damar.

“Saya memaafkan, tapi untuk melupakan, tidak. Bukan karena tidak mau, tapi tidak bisa.”





Lia, Life, and Love - 1

 


Cerita ini adalah fiksi, murni dari planet imajinasiku sendiri yang selalu aku kunjungi sebelum tidur. Letaknya ada di pikiranku. Hanya milikku seorang. Jadi, jika kamu menemukan cerita ini di tempat lain, harap segera lapor.

 

Boleh dibagikan tanpa izin, asal dengan menggunakan tautan, bukan screenshot atau salinan.


1. Lia


Airlia Dewi Meilani, itu nama lengkap perempuan yang menjadi pemeran utama cerita ini. Bapaknya bilang, Airlia artinya halus. Sedangkan Dewi tentu saja untuk menegaskan bahwa ia adalah anak perempuan. Dan Meilani, tidak ada arti khusus dari nama itu, bapaknya memilih nama itu semata-mata karena ada kata 'Mei' sesuai dengan bulan kelahirannya.


Panggil saja Lia. Cuma perempuan biasa. Hidup berdua dengan penuh kesederhanaan bersama sang bapak yang bekerja sebagai tukang pos.  Lihat saja kamarnya, berbeda dari gadis biasanya yang memiliki banyak hiasan. Yang mengisi ruangan itu hanyalah kasur melantai. Pernah melihat lemari pakaian anak-anak berbahan plastik yang langsung ditarik layaknya laci? Punyanya seperti itu.


Di dinding, tidak ada stiker unik, hanya ada tempelan gambar-gambar rancangan gaun yang dia buat sendiri untuk dipamerkan ke seluruh penjuru dunia suatu saat nanti, dan deretan medali dan sertifikat yang dia dapat baik dari akademik maupun non akademik seperti taekwondo. Di meja, tidak ada aksesoris lucu, make up, ataupun skin care lengkap, melainkan piala-piala. Tenang saja, dia bukanlah jenis ‘Pick Me Girl’. Tetapi semua bisa seperti itu karena dia adalah orang miskin.


Lia sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abu, kerudung putih, juga sepatu Converse yang buluk. Sebelum keluar kamar, tidak lupa ia memasukkan sebuah buku yang selalu ia bawa ke mana-mana. Itu adalah buku diari pemberian almarhumah ibunya. Di benaknya masih teringat jelas percakapan dengan sang ibu kala buku itu diberikan padanya,


“Di buku ini, kamu bisa ceritakan semua yang kamu rasakan.”

“Kenapa harus di sini? Kan, aku bisa cerita sama Ibu.”

“Karena nggak selamanya Ibu bisa menemani kamu.”


Ketika itu, Lia terlalu senang mendapat hadiah ulang tahun kelima dari sang ibu. Dia belum mengerti bahwa, ternyata itu adalah salah satu pertanda sebelum beberapa hari kemudian malaikat penjaganya itu berpulang pada Tuhan.


Oke, kembali ke kamar. Setelah semuanya siap, Lia bergegas menuju dapur, gesit menyiapkan bekal dari masakan Jahiyar: Bapak yang merupakan Supermannya. Dia bapak paling baik hati, paling selalu ingin melihatnya sukses di sekolah, dan paling ganteng sedunia meski kulitnya hitam dan sering berkeringat. Kalau soal tampilan, Lia memang merupakan cetak biru ibunya, tapi kalau soal semangat kerja keras, itu menurun dari bapaknya.


“Pak, aku berangkat dulu!”


“Pagi ini Bapak antar kamu sekolah ya.”


“Aku naik angkutan umum aja, Pak. Kalau diantar, nanti merepotkan Bapak. Waktu libur bukannya dipakai istirahat malah mau mengantar aku. Dadah Bapak! Assalamualaikum!” Sebelum Jahiyar bisa berkata apa-apa lagi, Lia sudah mengecup punggung tangannya dan melesat keluar.


Betul sekali kalau ada yang bilang Jakarta termasuk kota dengan tingkat kesibukan tinggi di dunia. Naik bus di pagi hari bagai bergabung dengan kerumunan semut. Bagi Lia, ini merupakan salah satu metode melatih kesabaran. Toh, tidak sabar pun, tetap akan macet juga.


Di tengah lautan manusia yang saling mengimpit satu sama lain, tidak sengaja Lia memergoki seorang bapak diam-diam sedang memotret paha perempuan bersetelan khas SPG yang berdiri membelakanginya. Penumpang lainnya hanya menonton perbuatan tak senonoh itu, tidak ada yang menegur, atau menolong sama sekali.


Lia paham, bukan semua tak acuh, tapi beberapa orang tidak tahu apa yang harus dilakukan, merasa akan terkena bahaya jika ikut campur, dan banyak yang berpikiran sama, “Nanti juga ada nolong.”


Itu artinya, peran Lia sangat membantu di sini. Tanpa pikir panjang lagi, meski sebetulnya juga takut, ia mendekat, berniat mengambil ponsel si bapak bertepatan dengan aksinya selesai, tetapi si bapak gerak cepat menahannya.


“Siapa kamu?!”


“Saya melihat Anda mengambil foto yang tidak pantas.”


“Mana buktinya? Jangan nuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya fitnah.”


Baik kalau memang maunya begitu. Lia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan video aksi kurang ajar bapak tadi dengan tangan satunya. Ya, tentu saja ia sempat merekamnya, karena pasti ada sejuta cara ia justru yang nanti malah disudutkan dengan alibi-alibi seperti sekarang. Lia adalah orang yang sedia payung sebelum hujan.


“Itu sih salah si Mbaknya saja yang pakai pakaian kurang bahan, roknya cuma selutut, bikin mengundang nafsu! Nggak ada asap tanpa api!” amuk si bapak. Lihat, bahkan sudah ada buktinya pun si bapak masih balik menyalahkan. Dia malah mengolok dan mengumpat pada perempuan itu yang kini terlihat ketakutan. Kemudian, sadar tangannya yang sedang memegang ponsel masih dicekal oleh Lia, dia lanjut mengamuk, “Aku ini orang tua. Kurang ajar kamu ya sama orang tua. Umurmu berapa?”


Entah karena jengah atau terganggu, orang-orang yang tadi cuek saja kini bersuara. “Sudahlah, Dek, biarkan saja. Pakaian terbuka memang bisa menimbulkan hasrat. Namanya juga laki-laki. Nanti kamu akan paham kalau sudah nikah. Sekarang fokus sekolah yang benar, lulus, dan banggakan orang tua.”


“Bener tuh, ini wajar karena mbaknya nggak memakai pakaian yang menutup aurat, nggak mematuhi perintah agama Islam.”


“Nah, lagian kalau seseorang berpakaian terbuka, bukankah itu artinya dia memang ingin dipandang lawan jenis?”


Lama bungkam, kini perempuan itu mencoba untuk berani bicara. Sebab makin mulut mereka dibiarkan, makin keterlaluan. Dengan suara gemetar, dia berkata lantang, “Maaf Bu, saya non muslim. Soal pakaian, sebagai SPG yang menjajakan produk otomotif, saya harus memakai seragam yang diberikan koordinator.”


Bagi Lia, klarifikasi itu rasanya terlalu sopan. Lia ingin sekali mengeluarkan kata-kata yang sudah bersarang di kepalanya, namun sebelum melakukan itu, muncul sebuah suara, “Baru-baru ini ada kasus gadis remaja dilecehkan saat sedang sholat berjamaah di masjid. Melihat kasus itu apakah pakaian menjadi tolak ukur seorang perempuan mengalami pelecehan seksual?”


Kerumunan bergeser untuk melihat dari mana asalnya. Dia seorang wanita berumur empat puluh tahunan yang karismatik. Ucapannya membuat suasana hening untuk beberapa detik, sampai akhirnya, ia melanjutkan, “Saya sudah panggil polisi.”


“Sial!” Si bapak mendorong Lia yang sedari tadi mencekal tangannya. Bus berhenti di halte tepat seberang SMA Harapan Negara—sekolah Lia—dan pintu terbuka. Si bapak berlari keluar sambil mendorong siapa saja yang menghalangi jalan membuat suasana bus jadi ricuh. Lia mengejarnya, tentu ia tidak bisa diam saja, akan ia pamerkan keahlian taekwondonya yang sudah mencapai sabuk hitam itu.


Lia lincah berlari, menyeberangi jalan, meloncati apa saja yang menjadi penghalang seperti seorang atlet gimnastik. Tanpa diduga, ia melepas tasnya dan penuh kekuatan, ia melempar benda berisikan banyak papan kayu itu—kebetulan hari ini ada latihan taekwondo. Gerakan melemparnya begitu dramatis, tas melengkung, menembak ke arah si bapak. Tepat sasaran! Sayangnya si bapak bangkit dan kabur lagi.


“Lia? Eh, Mang, berhenti dulu.” Di sisi lain, Ali, teman sekelas Lia, yang berangkat ke sekolah diantar sopirnya, melihat kejadian itu dari arah berlawanan, langsung membuka daun pintu mobilnya sewaktu si bapak sudah mulai mendekat. Membuat si bapak menabraknya dan tersungkur mencium aspal.


Lia yang sudah kembali memakai tasnya bergegas mengunci pergerakan si bapak supaya dia tidak bisa kabur lagi. Ali dan mamangnya juga ikut membantu. Tidak lama, dua polisi datang mengamankannya. Masalah beres, Lia dan Ali memutuskan mendatangi perempuan tadi yang kini terduduk dengan kondisi masih gemetar di bangku halte.


“Mbak, gapapa? Mbak pasti kaget banget tadi ya. Ini diminum dulu.” Lia membuka tas ransel, mengeluarkan botol air minum, menyerahkannya pada perempuan itu. “Sekarang sudah aman, pelakunya sudah ditangkap polisi, Mbak tenang saja.”


“Iya, saya sudah gapapa, cuma masih syok. Terima kasih banyak ya, Dek.”


“Sama-sama, Mbak. Oh ya, bisa berikan nomor ponsel Mbak?” Perempuan itu memberikan nomor ponselnya. “Oke, video rekaman saat pelaku melakukan kejadian sudah saya kirim ya untuk dijadikan barang bukti. Mbak bisa hubungi saya kalau nanti butuh kesaksian.”


Setelah tersenyum singkat, Lia lanjut jalan menuju sekolah dengan kondisi tubuh yang sebenarnya sudah gemetaran, karena tidak mudah menegur orang apalagi kasus begini. Ali yang menyadari itu, langsung bertanya,


“Kamu gapapa, Li?”


Lia menatap heran Ali, seolah berkata, “Tumben banget ini orang peduli?” Karena setahunya, Ali cuma bisa menyebalkan setiap hari, Lia sendiri juga bingung mengapa bisa berteman dengannya.


“Kenapa? Tadi aku keren banget ya sampai kamu terpesona begitu?” Baru juga dibilang, dia itu menyebalkan. Lihatlah, Ali yang memang percaya dirinya di atas rata-rata itu malah salah mengartikan tatapannya, dia mengangkat kedua alisnya, tersenyum miring bangga.


Lia menarik napas panjang. “Ali, kamu suka batu kerikil, batu bata, atau batu kali?”


“Mungkin batu kali. Bentuknya sekilas biasa saja, tapi dia dermawan banget. Walau selalu diterjang arus deras, dia tetap sukarela memberikan yang terbaik dengan berdiri kokoh tanpa mengharap balasan, manusia pun bisa aman menyeberangi sungai. Keberadaannya seolah memberitahu kita bahwa di setiap kesulitan pasti ada jalan.”


“Bodo amat, bodo amat.”


“Tadi nanya. Emang buat apa sih?”


“Buat kutimpuk ke wajahmu!”


“Enggak usah nge-gas juga kali. Heran, jadi cewek kok galak amat. Ingat ya, aku lebih tua dua tahun dari kamu loh.” Ali mengarahkan dua jarinya ke arah Lia. Lia yang pernah loncat kelas dan Ali yang telat satu tahun masuk sekolah, membuat mereka terpaut jarak usia dua tahun.


“Bangga banget ya udah tua.”


“Oh, iya, Li—”


“Diam! Enggak usah bicara lagi! Sekarang cuacanya udah panas, nggak usah nambah-nambahin panas!”


“Kena matahari di jam tujuh pagi gini bagus kok, dapat vitamin D.” Kalau sudah membahas yang berhubungan dengan hal medis, Ali seolah berada di dunianya sendiri, dan melupakan banyak hal bahkan termasuk apa yang hendak ia ingin katakan barusan.


“Eh....” Lia seolah menyadari sesuatu.


“Jam tujuh?!” Keduanya kompak terkejut, lantas berlari secepat kilat. Sesampainya di gerbang sekolah, ada banyak murid-murid lain yang terlambat juga. Mereka akhirnya dihukum lari keliling lapangan sebanyak lima putaran.


Lia meringis, mungkin bagi murid lain terlambat adalah sesuatu yang biasa. Tetapi dia murid beasiswa. Ya, dia mendapat beasiswa secara penuh dari pihak sekolah karena segudang prestasinya. Menjadi murid di sekolah menengah atas itu merupakan salah satu keberuntungan dan kebanggaan tersendiri untuknya, sebab tidak sembarang orang bisa bersekolah di sana jika bukan berasal dari keluarga yang katakanlah cukup terpandang. Dan, sekarang dia malah terlambat, seolah tidak memanfaatkan keberuntungan itu dengan baik.


“Li....” Di putaran kelima, Ali menyejajarkan langkahnya dengan Lia.


“Duh, aku kehabisan napas, nih! Jangan ajak ngomong mulu kenapa!”


“Lia....”


“Ssssst!”


“Lia, tadi aku ketemu buku ini.” Ali membuka tas, mengeluarkan sebuah buku warna putih, dan memberikannya kepada Lia. Itu buku diari.


Lia langsung berhenti, memeriksa tasnya. Risletingnya sudah terbuka dari tadi. Benar itu miliknya. “Kok bisa ada di kamu? Kamu colong dari tas aku, ya?!” Tuhan, tolong berikan kekuatan Ibu Malin Kundang sekarang juga agar laki-laki menyebalkan ini bisa aku kutuk jadi batu segera, lagi pula katanya dia ingin menjadi batu kali!


Detik selanjutnya, tanpa berpikir panjang lagi karena sudah panas entah karena matahari, entah karena menyebalkannya Ali, Lia mengejarnya dan mereka kejar-kejaran di antara murid lain yang juga sedang dihukum berlari keliling lapangan, menabrak semuanya, selayaknya pasangan di film-film romantis India. Tetapi, tolong jangan berpikiran kisah ini akan berlanjut membahas bagaimana keduanya jadi menjalin kisah cinta ala anak sekolah setelah dihukum bersama. Terlalu klise. Lagi pula, daripada pasangan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus dalam serial kartun Tom & Jerry.


“Aw! Li, bukunya tuh jatuh waktu kamu lagi lempar tas ke bapak-bapak tadi!” Ali di depan berusaha memberi penjelasan.


“Kenapa baru bilang sekarang? Pasti kamu tadi sempat baca-baca isinya, kan?!” 


“Suuzan terus. Salahku apa sih? Yang dari tadi terus memotong ucapanku siapa, huh, jadinya aku nggak bisa langsung balikin? Dan lagian dari tadi aku selalu sama kamu, kan?” 


Mendengar itu, Lia langsung terdiam. Betul juga apa yang dikatakan Ali. Sepertinya kalau tentang Ali, Lia memang hanya bisa memikirkan hal-hal negatif saja. Dan sepertinya ia harus segera merukiah diri agar tidak mudah berburuk sangka pada orang itu.


“Kalian berdua!” Suara melengking Pak Agus, guru olahraga sekaligus yang bertanggung jawab atas kedisiplinan siswa, menggema di lapangan.


Keduanya serempak berhenti dan menoleh.


Pak Agus memelotot, berdiri di pinggir lapangan, tangannya memegang penggaris kayu panjang. “Couple goals kita hari ini. Terlambat bareng, dihukum bareng. Oke, saya akan tambahkan hukuman biar semakin serasi. Silakan lari keliling lapangan lima putaran lagi.”


Lia dan Ali seketika itu juga melongo, namun pada akhirnya mereka berdua berlari lagi diiringi tawa teman-teman yang dihukum tadi. Setelah menjalani hukuman yang membuat tubuh langsung lelah, meski tidak seberapa dengan menampung malu, mereka akhirnya diperbolehkan ke kelas. Ada Bu Siti—guru matematika sekaligus wali kelas mereka—dan seorang siswi di depan papan tulis. Anaknya feminin, berbalik dengan Lia. Rambutnya panjang dikepang satu ke belakang, kulitnya putih pucat, cantik, dan senyumnya manis sekali. Hanya saja sedari tadi dia terus menundukkan kepalanya.


“Assalamualaikum, maaf terlambat, Bu.”


“Waalaikumussalam. Dari mana kalian?”


“Habis dihukum, Bu, lari keliling lapangan.”


“Hadeh. Ya sudah, silakan duduk.” Lia dan Ali segera duduk di kursi masing-masing. Bu Siti pun memperkenalkan siswi yang tadi masuk bersamanya. “Pagi ini kita kedatangan siswi baru. Mulai sekarang dia menjadi teman kalian, ya. Baik-baik sama teman baru kalian. Silakan perkenalkan diri kamu, Nak.”


“Mmm... hai... namaku Aslamiyah, kalian bisa panggil aku Mia. Terima kasih.”


Salah satu murid mengangkat tangannya. “Cuma itu doang? Dari sekolah mana?”


Mia hanya diam. Bu Siti tiba-tiba mengambil alih. “Mia homeschooling. Terakhir bersekolah di sekolah umum waktu SD. Itu membuatnya harus belajar beradaptasi lagi dari awal. Makanya, mohon bimbingan kalian ya, untuk Mia.”


Langsung terdengar suara bisik-bisik dari sepenjuru ruangan.


“Baiklah.” Bu Siti mendekati Mia dan berkata pelan. “Kamu bisa duduk di sana.”


Mia mulai berjalan ke satu-satunya meja yang kosong, di samping Lia. Ia duduk di sana, menaruh tas, dan mengeluarkan alat tulis dengan pandangan yang masih terus menunduk sementara beberapa murid masih memperhatikannya.


“Kalau ada yang bicara buruk tentangmu, santai saja, ya. Tidak usah dipikirkan. Karena sebenarnya mereka sedang memperlihatkan keburukan mereka sendiri. Sudah tahu menggosip adalah hal buruk, tapi masih tetap saja dilakukan, bahkan secara terang-terangan.” Lia berbisik, lantas seolah teringat sesuatu, dia mengulurkan tangan. “Ah, hai, selamat datang di sekolah ini. Salam kenal. Aku Airlia, tapi panggil aja Lia. Senang bertemu denganmu!”


“Mia....” Mia membalas.


“Ali....” kontan keduanya menoleh dan melihat Ali tersenyum yang membuat lekuk sabit di pipinya terlihat, melambaikan tangan, ikut-ikutan memperkenalkan diri pada Mia. “Hai. Iya, selamat datang di sekolah ini. Jangan kaget kalau dapat tugas seabrek. Oh ya, hati-hati sama Lia, nanti bisa diterkam.”


Lia langsung memelotot dan menunjukkan kepalan tangan. Ali akhirnya kembali duduk menghadap depan, memperhatikan Bu Siti yang mulai mencoret-coret papan tulis dengan banyak rumus.


“Hati-hati sama Ali, lesung pipinya ada pelet.”


Lia, life, and love

Lia, perempuan biasa yang bermimpi menjadi seorang perancang busana. Dalam berjuang atas mimpinya itu, ia juga menghadapi rumitnya cinta segitiga dengan Mia dan Ali. Tiga hati yang awalnya menyatu atas nama persahabatan, tiba-tiba jadi saling pergi.


Kisah tentang romansa, persahabatan, dan perjuangan meraih mimpi yang dimulai saat mereka masih nothing, hingga menjadi something.


Kamu bisa membacanya di sini

Tips Belajar Bagi yang Tidak Suka Membaca

Baru baca satu lembar, eh ngantuk. Baca lagi sambil memaksakan kedua mata untuk tetap melek, eh ketiduran. Itulah yang membuat kita akhirnya malah enggak jadi belajar, aku yakin kamu pernah mengalaminya.

Permasalahan seperti itu baru aja mendatangiku kemarin, saat menjelang Penilaian Tengah Semester (PTS). Ya begitulah, namanya juga malas, datang tanpa kenal waktu. Memang sangat meyusahkan, meresahkan, dan membagongkan. Wkwkwk.

Nah, tips-tips belajar ini aku kumpulkan dari pengalaman pribadiku saat itu. Di era teknologi seperti zaman sekarang gini, enggak ada alasan buat enggak belajar. Langsung to the point aja deh, berikut tips-tipsnya:

1. Dibacain sama Microsoft Word aja!

Yups, nantinya materi yang ingin kamu pelajari akan dibacakan oleh Microsoft Word. Bisa dikatakan ini adalah cara belajar dengan listening atau mendengarkan. Kamu cukup mendengarkan saja sambil memahami atau mencatat yang sekiranya penting, mantaps deh. Terlebih lagi, tersedia dua pilihan suara lho, yaitu suara laki-laki dan suara perempuan.

Gimana sih caranya?

1. Siapkan terlebih dahulu file materi yang ingin dibacakan dalam format word (doc atau docx).
Kalau aku, karena malas ngetik, jadinya aku unduh file pdf buku paket yang sesuai dengan buku paket sekolahku dari internet. Kemudian aku potong pdfnya dari halaman sekian sampai halaman ke sekian. Kan enggak mungkin tuh satu buku mau dibacakan semua, yang ada nanti kita malah jadi mabuk.
Setelah itu, karena filenya masih format pdf, aku ubah menjadi format word menggunakan aplikasi pdf to word yang bisa kamu unduh secara gratis di playstore.

2. Buka file materi yang sudah disiapkan tadi di aplikasi Microsoft Word.

3. Klik titik tiga di pojok kanan atas, kemudian klik baca dengan lantang.
Materimu pun akan langsung dibacakan oleh Micsrosoft. Untuk memilih jenis suara, kamu hanya perlu mengklik tombol seperti foto di bawah ini. 
Nanti akan ada pilihan paket suara, tersedia dua, yaitu suara laki-laki dan perempuan.

Kalau kamu sukanya suara ala-ala google translate, aku merekomendasikan untuk pakai suara perempuan. Tapi kalau kamu sukanya suara manusia yang nyata ketimbang yang dibuat-buat kayak janji manis dia padamu, aku merekomendasikan untuk pakai suara laki-laki.

Aku pribadi lebih suka opsi kedua, karena suaranya tuh benar-benar seperti suara Pak Guru yang sedang mengajar di kelas, jadi belajarnya pun makin konsentrasi deh.

4. Selamat belajar.


2. Belajar sambil bermain di Quizlet

Quizlet adalah aplikasi belajar dengan flashcard. Kamu bisa buat flashcard kamu sendiri dan pelajari atau pilih jutaan set yang sudah dibuat oleh pengguna lain. Seru deh pokoknya.

Omong-omong ini bukan sponsor ya, teman-teman. Aku merekomendasikan aplikasi ini karena murni benar-benar suka. Lagian memangnya siapa diriku ini? :"

Gimana sih cara menggunakan aplikasi ini?

1. Cari atau buat flashcard.

Kalau mau belajar menggunakan flashcard yang sudah dibuat oleh pengguna lain tanpa perlu ribet, kamu hanya perlu mencarinya saja di pencarian. Cari berdasarkan kata kunci, mata pelajaran, dan judul untuk menemukan set yang sangat berguna berisi materi yang kamu pelajari.

Tapi kalau kamu mau belajar menggunakan flashcard sendiri karena materi yang kamu cari enggak ada atau kurang lengkap, begini cara buatnya:

  1. Masuk ke aplikasi quizlet.
  2. Daftar atau log-in terlebih dahulu.
  3. Tekan tombol + di bawah
  4. Pilih buat set bahan pelajaran.
  5. Tulis Judul.
  6. Mulailah mengisikan set kartu. Sebagai contoh, karena aku ingin membuat kuis, aku mengisikan bagian istilah dengan pertanyaan dan bagian definisi dengan jawaban dari pertanyaan itu.
  7. Kalau sudah, klik tombol centang di bagian pojok kanan atas. 

Kamu bisa membagikan set kartu yang sudah dibuat ke teman-temanmu melalui email, tautan, atau Google Classroom. Ingat, ilmu dipelajari untuk diamalkan, bukan hanya sekadar menambah wawasan dan kepintaran ya, teman-teman. Setelah kamu membuat beberapa set, kamu juga bisa menambahkannya ke folder. Inilah tampilan saat falshcard kamu sudah selesai.
2. Mulailah Belajar.
Sekarang, waktunya gunakan mode belajar Quizlet: Pelajari, Flashcard, Tulis, dan Tes dengan set pelajaran kamu. Kamu bisa lihat seperti foto di atas.

  1. Pelajari. Bagian ini berisi tentang sekumpulan pertanyaan pilihan ganda terkait dengan materi yang sudah kamu buat dalam set kartu.
  2. Flashcard. Bagian ini berisikan kartu set yang sudah kamu buat sebelumnya. Kamu akan menghafal isian kartu.
  3. Tulis. Bagian ini memberikan kuis dan menulis jawaban yang benar berdasarkan kosa kata dalam set kartu.
  4. Tes. Bagian ini merupakan tes yang akan merangkum semua materi dalam set kartu.
  5. Mencocokkan. Bagian satu ini merupakan kesukaanku, yaitu games dengan cara mendrag item yang cocok satu sama lain untuk membuat item tersebut hilang.

Menarik, bukan? Apalagi aplikasi ini enggak berbayar alias gratis, dan user-friendly banget alias mudah digunakan. Berikut tadi adalah fitur-fitur yang tersedia di aplikasinya. Kalau kamu membuka di webnya mungkin fiturnya akan ada lebih banyak lagi, gitu sih yang aku lihat di blog orang-orang, aku juga kurang tau.

3. Selamat belajar.



Silakan dicoba untuk membuat belajar kamu yang kurang suka membaca buku menjadi lebih seru dan menarik. Tapi meski begitu, jangan lupa juga untuk tetap berusaha menumbuhkan minat baca ya, teman-teman.

“Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak hal yang akan kamu ketahui. Semakin banyak kamu belajar, semakin banyak tempat yang akan kamu kunjungi.” - Dr. Seuss

Bila ada tambahan atau seputar pertanyaan, bisa dituliskan di kolom komentar atau DM ke instagram aku @intanrahmawatix, jangan sungkan okeii. Terima kasih dan semoga membantu.

Salam,

Intan Rahmawati.

Jaga Kebersamaan dalam Keberagaman dengan Toleransi

Negara Kesatuan Republik Indonesia terwujud karena sikap toleran warga negaranya.

Tahukah kamu bahwa Indonesia memiliki suku bangsa terbanyak di dunia? Indonesia memiliki lebih dari 400 suku bangsa, dan ratusan bahasa lokal di Indonesia. Wow! Banyak sekali, ya.

Kita mesti bangga memiliki suku, bahasa, dan budaya yang beragam. Keberagaman suku, bahasa, dan budaya merupakan kekayaan dan keindahan bangsa yang tidak ternilai harganya. Hal ini juga menjadi daya tarik bangsa asing untuk datang ke Indonesia. Bahkan, bangsa asing saja banyak yang berebut belajar budaya daerah kita, lho, teman-teman.

Permasalahan Keberagaman di Indonesia

Di balik semua itu, keberagaman di Indonesia juga rentan terhadap masalah. Perbedaan suku bangsa, bahasa, dan budaya dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah, contohnya seperti putusnya pertemanan, perkelahian antarpelajar, munculnya rasisme, dan masih banyak contoh lainnya. Padahal, apa pun sukunya, bahasanya, dan budayanya, kita tetaplah merupakan saudara setanah air yang harus tetap menjaga kebersamaan.

Menjaga Kebersamaan dalam Keberagaman

Keberagaman yang ada di Indonesia bisa menjadi kekuatan dan kekayaan bangsa jika kita memiliki sikap toleransi dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.

Indonesia memiliki semboyan "Bhineka Tunggal Ika", yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Walaupun kondisi masyarakat Indonesia beragam suku bangsa, bahasa, dan budaya namun tetap merupakan keluarga besar bangsa Indonesia di bawah naungan semboyan Bhineka Tunggal Ika sehingga kita harus menjaga kebersamaan.

Dalam menjaga kebersamaan, kita perlu mengembangkan sikap toleransi. Kita dapat memulainya dari lingkungan sekitar. Misalnya, dalam keluarga mau menghargai kesukaan anggota keluarga yang lain, dan dalam sekolah mau menghargai pendapat teman-teman saat berdiskusi kelompok.

Saya pun juga sedang belajar melakukan itu. Bersama, mari kita kembangkan sikap toleransi untuk memperoleh kebersamaan dalam keberagaman.

Bagaimana Cara Kamu?

Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba "Indonesia Baik" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

Quotes as a closing

There's a star that's right inside you. So come on and let it out. Find out what you're about and just shout. Here I am.

Barbie

The Princess and The Popstar

You never know what you can do unless you try.

Barbie

Barbie and The Secret Door

The power to change the world has been inside you all along.

Barbie

Barbie in Princess Power

INTAN
+62
Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE



Cari Blog Ini