IC Youthpreneur Camp, sebuah ruang, konferensi, dan event tahunan berkumpulnya banyak pengusaha kuliner yang sukses dan berpengalaman, yang diadakan oleh IC Ventures. Pokoknya, yang terkenal karena prestasi, bukan sensasi. IC Youthpreneur Camp bertujuan untuk mengembangkan semangat berwirausaha agar mendorong lahirnya wirausahawan muda berbasis teknologi.
Acara ini berlangsung selama tiga hari. Dalam tiga hari itu, IC Youthpreneur Camp digelar untuk menjaring potensi pemuda, mencari peluang dalam membangun bisnis kuliner, sekaligus memperkaya pengetahuan seputar industri e-commerce. Puncaknya adalah ketika masing-masing kelompok peserta berkompetisi menjadi yang paling baik mempresentasikan ide bisnis kuliner mereka di hadapan para juri dan disaksikan peserta lainnya. Terpilih sepuluh tim yang akan mendapatkan pelatihan mengenai berbagai fundamental dalam berbisnis, terutama di era digital seperti sekarang, seperti desain produk, pemasaran digital, dan validasi bisnis. Tiga utamanya, berkesempatan mendapatkan modal ventura. Khusus yang pertama, ditambah uang hadiah dan liputan media.
Ada tiga bintang utama kali ini. Salah satunya Rindu Putri Gaharu. Rindu merupakan pendiri Kuch Kuch Hot Tahu yang sukses antarkan gerainya dan saat ini berskala di Asia Tenggara.
Kuch Kuch Hot Tahu, sesuai namanya, adalah sebuah restoran khusus menu tahu pedas. Tersedia level satu sampai enam belas yang menjadi tingkat kepedasannya. Menunya tak pernah berubah sejak pertama kali dibuka hingga tiga tahun terakhir. Mereka benar-benar fokus menjual olahan tahu pedas saja. Tetapi semenjak ibu Rindu, Gaharu, tidak bisa memakan makanan pedas lagi, Rindu mulai menambahkan berbagai varian rasa di Kuch Kuch Hot Tahu. Selain beroperasi sebagai gerai, Kuch Kuch Hot Tahu juga memiliki program untuk umum, yaitu melihat dan membantu di pabriknya secara langsung seperti apa proses pembuatan tahu dari awal hingga sampai ke penjualan.
Oke, itu cukup menjelaskan kenapa Rindu bisa menjadi bintang utama di IC Youthpreneur Camp tahun ini. Dia juga paling menjadi buah bibir seantero negeri di antara bintang utama dan bintang tamu lainnya. Tentu saja, bukan tanpa sebab.
Tak perlu seratus lebah untuk membuat mekar seratus bunga, sepertinya itu analogi yang tepat untuk penyebaran rumor yang sangat cepat bagai kilat. Setelah itu, kenangan-kenangan yang sudah lama tenggelam di dasar laut bisa kembali diangkat ke permukaan. Terakhir, muncul spekulasi-spekulasi tanpa lebih dulu dikonfirmasi. Begitulah ketika menjadi terkenal.
Katanya, desas-desus, Rindu bukan direkrut karena kesuksesannya, melainkan kisah menyedihkan masa lalunya. Dia juga dianggap terlalu muda di usia tiga puluh tiga tahunnya jika disandingkan dengan dua pebisnis yang usianya sudah setengah abad itu, sebab jelas, mereka lebih berpengalaman.
Tetapi, perkataan mereka bukan tolak ukur kebahagiaannya. Mengenakan long loose-fitting blazer dan celana wide leg dengan warna senada yaitu sage green yang membuatnya terlihat simpel tapi elegan, persis kepribadiannya, Rindu tetap menegakkan kepala dan memasang senyum terbaik di atas panggung, seolah menunjukkan hidupnya baik-baik saja tanpa terpengaruh apa pun. Semua menyambutnya ramah.
“Hello ladies and gentleman. Welcome to Prolog, bersama saya, Om Darno. Hari ini ada salah satu bintang utama yang sangat istimewa. Adalah seorang perempuan yang dulu sering dianggap remeh namun sekarang jadi panutan kita rame-rame. Beri tepuk tangan untuk Rindu Putri Gaharu pendiri Kuch Kuch Hot Tahu!”
IC Youthpreneur Camp selalu ada Prolog, talkshow yang berdurasi kurang lebih setengah jam sebagai pembuka acara. Sebenarnya ini gelar wicara biasa yang berbicara tentang kehidupan, mengolah kisah nyata yang sering hadir di sekeliling menjadi sebuah cerita singkat yang menginspirasi. Klise. Namun, karena hal tersebut pula, menjadikan ini sebagai talkshow yang sangat relate bagi banyak peserta. Terlebih, mereka berkumpul di sini untuk alasan yang sama. Muda-mudi dari berbagai kalangan dan latar belakang berlomba untuk berbisnis.
“Rindu, masih banyak yang penasaran nih. Bagaimana sih, seorang Rindu Putri Gaharu pendiri Kuch Kuch Hot Tahu memulai kariernya?”
“Rindu, Om Darno. Rindu aja.”
“Rindu banget kali....”
Penonton ketawa.
Rindu juga tertawa kecil, lalu menanggapinya malu, “Bisa aja.”
“Baiklah, sekarang saya akan mulai bercerita,” lanjut Rindu, lantas mulai bercerita, “Semua berawal dari ketika saya lulus SMA. Ketika itu, saya harus mengorbankan kesempatan emas kuliah di kampus swasta ternama di Indonesia dengan beasiswa untuk sesuatu yang belum pasti, yakni berbisnis dan menunda kuliah. Karena meskipun biayanya sudah terpotong banyak, bagi saya yang nggak punya apa-apa ini tetap mahal. Apalagi berbarengan dengan kedua adik saya yang gantian masuk SMP dan SMA. Sementara ibu saya single mother. Beliau kerja sebagai tukang cuci-gosok di rumah beberapa tetangga sekampung. Selesainya, lanjut menjadi pedagang olahan tahu kaki lima.
“Keputusan saya memang nekat. Tapi saya yakin dengan keputusan saya dan itu sudah cukup bagi saya. Akhirnya, setelah lulus SMA, saya langsung merantau ke Jakarta untuk kerja dan ikut program semacam di IC Youthpreneur Camp ini, berkompetisi ide bisnis. Bedanya, dilakukan secara perorangan. Sebab hanya itu tempat untuk orang yang nggak punya uang, koneksi, dan pendidikan tinggi seperti saya. Puji syukur, saya berhasil menjadi nomor satu. Saya mendapat pelatihan dan juga membuka restoran kecil yang menyediakan sepuluh varian menu hidangan berbahan utama tahu. Saya menamakannya Kuch Kuch Hot Tahu karena terinspirasi dari film India favorit saya. Itu juga merupakan nama gerai ibu saya sewaktu menjadi pedagang kaki lima. Sekarang, sudah hampir lima belas tahun nyaman berada di dunia tahu-per-tahuan. Sepertinya itu menurun dari ibu saya.”
Rindu tersenyum, menatap lurus ke depan, ke arah seorang wanita paruh baya yang sedari tadi terus menyeka pipinya. “Itu beliau, teman-teman. Ibu saya.”
Semua menoleh. Orang-orang langsung bisa mengenalinya. Gaharu memiliki rambut yang sama dengan Rindu, ikal, bedanya hanya sepundak sementara Rindu panjang sepinggang. Cara berpakaiannya tidak berubah dari dulu. Masih mengenakan setelan hangat celana longgar dan kemeja yang dilapisi rompi rajut, kain leher tidak ketinggalan. Dari tempatnya duduk, sang ibu melambai-lambai sambil tersenyum dan memandang putri sulungnya itu dengan bangga.
Tepuk tangan para penonton mengakhiri kisah mengharukan ini.
Di sesi tanya-jawab, seorang pemuda bersetelan kerja dan berambut cepak berdiri. “Selamat pagi. Saya Damar Wiratama Putra Pertama. Saya berusia dua puluh tiga tahun.”
“Damar Wiratama Putra Pertama?” Rindu bergumam, familiar dengan nama itu. Nama si pemuda membawa Rindu kembali pada hari itu, beberapa tahun lalu. Kembali pada masa SMA, yang katanya adalah paling indah. Tapi untuknya, tidak. Sama sekali tidak.
Lebih dari lima belas tahun lalu, Rindu bukanlah siapa-siapa. Dia bukan orang penting apalagi kaya. Dia hanya seorang perempuan yang sudah terbiasa dengan penolakan, dalam hal apa pun itu, entah keluarga, pertemanan, dan banyak lagi.
Di SMA, Rindu menjadi korban penindasan.
Dia pernah bertanya ke mereka, “Kalian kenapa? Kenapa kalian suka ganggu aku? Memangnya aku salah apa sama kalian?”
“Apa lagi? Ya karena kamu jelek lah. Tahu, nggak? Rambut kamu yang keriting itu kayak rambut genderuwo.” Yang pertama, Mei. Tahu, kan, dalam kelompok pertemanan alias geng, pasti ada satu orang yang paling menonjol. Bisa dikatakan, Mei adalah itu.
“Badan kamu yang kurus kering itu kayak triplek.” Yang kedua, Siska. Dia seperti Bellatrix Lestrange, si abdi setia bosnya, Voldemort di Harry Potter. Bedanya, Siska melakukan semua karena ingin menunjukkan bahwa, ia pantas menjadi bagian dari geng. Sementara Bellatrix Lestrange tidak membutuhkan itu.
“Dekil, muka kamu kayak popcorn-ku yang kemarin jatuh.” Yang ketiga, Dinda. Kalau dia, di Harry Potter adalah Dolores Umbridge. Dolores Umbridge hanya berani ketika punya bekingan seperti Dementor atau Kementrian Sihir.
Mereka bertiga adalah teman sekelas Rindu. Ralat, bukan siapa-siapanya. Karena, bukan teman namanya jika menindas. Awalnya dari mengolok, bercanda. Tetapi lama kelamaan menjadi frontal bahkan menyebarkan fitnah bahwa ibunya menjual olahan tahu basi. Rindu sesekali melawan mereka, tapi tidak berdampak apa-apa. Jadi, Rindu pun memutuskan untuk melapor ke wali kelasnya.
Sekolahnya memiliki kebijakan tersendiri terhadap pendisiplinan siswa. Mereka menerapkan sistem poin. Selain mengurangi poin bagi yang melanggar peraturan, mereka juga akan memberikan poin tambahan bagi siapa yang melaporkan. Ketika Rindu dulu mengadu ke wali kelasnya, bukan dukungan atau belaan yang ia terima, tapi aduannya malah dikait-kaitkan dengan sistem poin.
Melihat tanggapan Bu Meta, yang acuh tak acuh itu, Rindu dengan gugup bertanya, “Apakah sebaiknya saya langsung ke BK atau bahkan kepala sekolah, Bu...?”
Bu Meta yang dari tadi fokus pada laptopnya, seketika menoleh. “Kamu yakin pelaku penindasan itu menjadi satu-satunya yang bersalah? Mereka seperti itu punya penyebab, misalnya iri. Mereka sedang nggak baik-baik aja. Yang waras harusnya bisa rasional.”
“Maksudnya, Bu?”
“Setiap hidup punya pilihan. Ketika kamu dirundung, kenapa kamu nggak memilih untuk melawan? Apalagi, ini hanya verbal, masih tergolong ringan. Jangan cengeng amat. Kamu selalu punya pilihan, menghadapinya atas usaha sendiri, atau hanya berharap keajaiban datang tanpa melakukan apa-apa?”
“Melapor seperti ini, apakah bukan termasuk usaha, Bu?”
“Maksudmu menyertakan orang lain? Bicara tentang pengambilan risiko dari menolong korban, bahwa mereka boleh jadi target selanjutnya? Bagaimana kalau itu ibumu? Ibu akan cari jalan keluar yang tidak akan memperluas masalah.”
Akhirnya, dilakukan mediasi kecil dan Bu Meta menjadi mediatornya. Dipertemukanlah Rindu, Mei, Siska, dan Dinda di ruang kelas yang tidak digunakan. Hanya mereka berlima.
“Kita cuma bercanda, Bu. Kita memang selalu seperti itu kok. Cuma Rindu lagi baperan aja waktu itu. Biasalah cewek, tamu bulanan, Bu.” Mei mewakili memberikan penjelasan kepada Bu Meta.
“Betul tuh Bu!” Siska dan Dinda menyetujui.
Bu Meta mengangguk mengerti. “Oh, begitu, Ibu paham permasalahannya. Ibu, kan, juga pernah muda. Dalam pertemanan memang terdapat pasang surut emosi, tetapi tidaklah sulit untuk saling memaafkan. Begini saja....”
“Maaf, tapi attitude nggak bisa dibercandain.” Rindu memotong ucapan Bu Meta.
“Rindu, mungkin hatimu kecewa. Tapi bukankah saling memaafkan itu lebih indah? Bukankah hidup ini akan lebih indah jika dijalani dengan kedamaian?” kata Bu Meta. Ya. Benar. Masalah penindasan itu berujung damai. Mereka meminta maaf melalui pernyataan tertulis dan lisan.
Apa yang terlihat, boleh jadi tak seperti yang kita lihat.
Selepas keluar dari ruangan, mereka langsung kembali lagi.
“Pegal tau nggak, nulis permintaan maaf begitu. Tapi, untungnya dunia ini hanya milik orang cantik dan kaya, Rindu sayang. Setidaknya kalau kamu miskin, ya jangan jelek.” Mei tersenyum puas, lalu menjulurkan lidahnya.
“Lah ini? Udah miskin, jelek, belagu lagi.” Dinda menimpali.
“Makanya, jadi anak pedagang kaki lima jangan belagu. Gitu aja pake segala ngadu, dasar tukang ngadu. Awas ya, kamu. Hidupmu nggak bakal tenang. Ketemu di jalan, aku gak segan tabrak pakai motor,” ancam Siska.
Lalu ketiganya berlalu.
Tersisa Rindu seorang.
“Ada apa, Bu?”
“Biasalah, Bu, namanya juga anak-anak.” Suara di dekatnya terdengar samar-samar.
Koridor seolah menjelma ruang gelap yang penuh dengan kehampaan dan Rindu sendirian berjalan melaluinya. Tenang, Rindu. Perasaan yang kamu rasakan ini wajar. Beberapa jalan atau langkah memang harus dilakukan sendirian. Ada cahaya di ujung terowongan sana yang bisa menjadi jawaban mengapa kamu berjuang melintasinya. Setidaknya, memercayai sesuatu macam ini membuatku punya harapan. Membuatku merasa masih ada yang perlu kutunggu. Membuatku untuk tidak menyerah dulu.
Bagi Rindu, cahaya itu adalah ibunya. Ingin Rindu berlari menjauh dari tempat ini. Tapi ibunya bilang, dia bahagia di sini, dagangannya lebih laris di sini, dan dengan begitu dia bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Rindu dan kedua adiknya. Mendengar itu, Rindu tentu saja bingung harus senang atau sedih. Tetapi, itu lebih dari cukup menjadi alasan untuk memilih bertahan di kota ini daripada pergi.
Bukan. Bertahan itu bukan pilihan. Tapi keyakinan.
Sebelumnya, Rindu tinggal dengan ayahnya. Setelah Rindu lulus SMP, ayahnya ketahuan berselingkuh dengan rekan kerjanya, namun bukannya merasa bersalah, pria itu mengusir mereka dari rumah sendiri. Dan di sinilah Rindu, ibunya, dan dua adiknya berakhir, di tempat yang tidak jauh berbeda kejamnya.
Ketika kepada wali kelasnya, Rindu meminta perlindungan dari penindasan, itu bukanlah epilog dari masalahnya, melainkan membuat prolog baru. Karena besoknya....
“Ibu ingin menyampaikan hal yang seharusnya sudah dari dulu Ibu lakukan. Sejak menjadi wali kelas, Ibu harap nggak ada dari kamu semua yang mendapatkan surat peringatan, satu pun. Dengan diam-diam melaporkan teman kalian sendiri demi keuntungan sendiri, Ibu harap kalian tidak melakukan itu. Kelas kita adalah kelas unggulan. Kalau sampai ada yang melanggar peraturan, di situlah kualitas Ibu sebagai wali kelas dipertanyakan. Kalaupun memang ada, cukup lapor ke Ibu, nggak perlu ke BK apalagi kepala sekolah. Nggak usah cerita ke guru lain. Itu bukan sesuatu yang membanggakan. Ada banyak jalan keluar dalam mengatasi permasalahan selain mendapat surat peringatan. Terlebih, kalian tahu, kan? Lebih dari satu kali mendapat surat peringatan, kalian bisa diskors atau lebih buruk dikeluarkan dari sekolah. Jadi, tolong kerjasamanya.” Sebelum keluar kelas, Bu Meta sempat melirik Rindu dan Rindu tahu betul itu sindiran untuknya.
Sejak hari itu, Bu Meta berubah ketus padanya, perlakuan tak menyenangkan terus menimpanya. Terlebih beberapa hari kemudian, Rindu dipanggil oleh Kepala Sekolah karena sering telat bayar SPP. Sebagai wali kelas, Bu Meta ikut andil mengurusinya, bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Namun, begitu tahu kalau dia hanya hidup dengan ibu dan dua adik, nilai-nilai Rindu di mata pelajarannya tidak pernah lebih dari KKM.
Rindu adalah siswi aktif di kelas. Terkadang, ketika kurang setuju dengan apa yang dijelaskan karena tidak sesuai seratus persen seperti yang ada di buku, jadi Rindu selalu bertanya. Tetapi, Bu Meta mengatainya terlalu banyak tanya.
Rindu juga selalu menjawab pertanyaan yang diberikan, meski sudah mengangkat tangan tinggi-tinggi, Bu Meta sering tak acuh atau sekali menanggapi dengan tidak mengenakkan.
“Ada yang tahu, global warming terjadi di lapisan atmosfer bagian apa?” Rindu mengangkat tangan, disusul oleh Tari si ketua kelas beberapa detik kemudian. “Ya, Tari, silakan.”
“Stratosfer bukan, Bu? Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya penurunan suhu di lapisan stratosfer yang merupakan bagian atmosfer bawah pada posisi antara troposfer dan lapisan ozon.”
“Ada yang lain? Enggak ada yang tahu, nih?”
Karena semua diam, Rindu langsung menjawab, “Peristiwa global warming jika fokus pada efek rumah kaca, maka peristiwa tersebut ada di lapisan troposfer. Sedangkan global warming jika fokus pada lubang ozon, maka peristiwa tersebut ada di lapisan stratosfer.”
“Rindu, kamu bicara tanpa izin lagi di kelas saya. Ini sudah ke sekian kalinya. Poin kamu saya kurangi lima.”
Mei yang duduk di belakang Rindu, tertawa, kemudian menjambaknya. Kepala Rindu jadi tertarik ke belakang dengan keras. “Sabar, ya. Kamu memang pandai sih, pantas aja, karena kan kamu jelek. Kalau cantik mah, nggak perlu susah-susah jadi pintar buat dilihat orang lain. Lihat sendiri, kan?” bisiknya tepat di telinga Rindu.
Lingkungan sekolah dengan orang-orang dewasa yang tidak peduli, apa yang bisa diharapkan? Penindasan yang diterimanya semakin parah. Bukan hanya secara verbal, tapi juga secara fisik. Meskipun sekelas mengetahuinya, bahkan sering melihatnya, namun tidak ada sama sekali yang berani menolong Rindu. Semuanya terhasut sebab, selain fitnah jual tahu basi, Mei memberitahu bahwa orang yang disinggung Bu Meta adalah Rindu. Oleh karena itu, mereka mulai menjauhi dan mengucilkan ‘Rindu Si Tukang Ngadu’. Mereka berpendapat orang yang diam-diam menusuk seperti itu memang pantas mendapatkannya.
Beberapa malah ikut-ikutan mengolok-olok, apalagi tentang rambut ikal mekar Rindu.
“Kamu jangan duduk di depan, kasihan yang di belakangmu nggak bisa lihat papan tulis gara-gara rambutmu!”
“Kamu kok ke mana-mana bawa sarang burung di kepalamu?!”
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat mendidik, malah jadi semacam momok menakutkan. Tentu saja, Rindu tertekan, terlebih dia memendam semua sendirian, hanya menuliskan dalam buku harian. Rindu tidak melawan, tidak mengadu pada siapa-siapa. Kalau melakukan itu, maka risikonya, besok bisa jadi lebih buruk daripada hari ini. Apalagi Mei berasal dari keluarga berada, jadi, Rindu makin tidak punya kuasa untuk melawannya. Ketika aduannya kepada Bu Meta dituduh sebagai niat jelek waktu itu, di situlah ia berhenti untuk melakukannya lagi. Kalaupun ia mengadu lagi, percuma saja, mereka hanya disuruh minta maaf dan bakal terulang lagi. Begitu pikirnya.
Itu membuatnya menghabiskan sebagian besar waktu tenggelam dalam pikiran negatif. Rambutku memang ikal dan super mengembang, tubuhku memang kecil, dan aku memang dekil. Aku juga miskin. Apa yang mereka bilang, benar adanya. Maka, aku pantas ditindas.
Pikiran negatif itu perlahan menguasai dirinya, membuatnya merasa tidak berguna lagi, seperti tidak ada harapan. Ia merasa tidak berharga, merasa tidak ada yang peduli, merasa sendirian. Hasilnya, itu mengganggu aktivitas sehari-hari dari nafsu makan memburuk sampai sulit tidur.
Rindu dapat dengan mudah terbangun oleh suara kipas angin. Dalam pikirannya, itu adalah suara buku tebal yang melayang, berputar-putar di udara dan hendak menghantam kepalanya. Di kelas, kalau Rindu tidak menyahuti panggilan Mei, Mei selalu melakukan itu. Itu menjadi bayang-bayang yang terbawa sampai mimpi.
Sang ibu pernah mendapatinya di beberapa malam. Tapi Rindu selalu berbohong, “Aku cuma mimpi buruk, Bu, kayaknya karena lupa baca doa tidur hehehe.”
Meski tidak pernah mendapatkan tidur yang nyenyak lagi, Rindu tetap harus meneruskan hari esok. Tetap harus datang ke sekolah. Dia tetap harus siap di pagi hari, berangkat, dan dia sangat membenci itu. Belakangan juga yang menyambut suasana paginya adalah awan mendung, gelap sekali, mirip sekali dengan hidupnya yang terlalu gelap.
Tidak lama, hujan deras menyusul tanpa gerimis dulu. Petirnya bersuara lantang. Khawatir putrinya kehujanan, Gaharu membuatkan jas hujan dari kantong sampah plastik untuknya. Tetapi, itu sia-sia....
Sesampainya di sekolah, ketika sedang membungkuk memasukkan jas hujan spesial itu ke ke ranjang sepedanya, tiba-tiba tasnya ditarik kuat dari belakang. Rindu yang kaget dan kehilangan keseimbangan, terhuyung mundur hingga tubuhnya terduduk di aspal. Bukan itu saja, tasnya juga diambil oleh Siska dan diserahkan pada Mei.
Rindu bangkit berdiri. “Balikin tas aku,” pintanya dengan tegas.
“Memang kamu siapa? Seenaknya nyuruh-nyuruh.”
Dengan kaki gemetar karena rasa marah yang menyergap, Rindu mendekat, berniat mengambil tasnya. Tetapi Mei langsung melempar ke Dinda. Rindu beralih padanya, Dinda mengopernya lagi ke Siska. Terus seperti itu. Seperti bermain kucing-kucingan, ah bukan, kucing-kucingan terlalu halus, melainkan anjing-anjingan dan Rindu menjadi anjingnya. Rindu berada di tengah mereka, menjadi anjing yang berhasrat mengejar mainan yang dilempar oleh tuannya, dalam hal ini adalah tas. Mereka sukses memperdayanya ke sana ke mari. Sampai akhirnya, Siska mengakhiri permainan dengan melempar tasnya jauh ke area yang tidak beratap.
Rindu tetap mengambilnya di bawah derasnya hujan. Bajunya basah. Sia-sia ibu dari pagi buta mencari kantong plastik ke tetangga-tetangga, membuat jas hujan sepesial itu untukku, agar aku tidak terkena hujan, agar aku tidak sakit. Maaf, Bu.
Sekembalinya, Mei, Siska, dan Dinda masih berada di tempat, menertawakannya.
“Eh, eh, eh, bentar deh.” Tawa Mei terhenti. Seragam Rindu yang menjadi transparan akibat kehujanan lebih menarik perhatiannya. Lebih tepatnya kaos biru yang menjadi dalaman, yang samar-samar nampak. Tanpa diduga, Mei langsung membuka kemeja Rindu secara paksa hingga beberapa kancing terlepas. Dengan mudah dia merobek seragamnya, padahal ibu Rindu perlu tiga hari mengumpulkan uang untuk membeli seragam itu.
Ditatapnya kaos itu. Bergambar bunga-bunga yang dihinggapi lebah. Seketika Mei tertawa. Bersamaan dengan itu, dia melepas jaket merah mudanya, menampilkan kaos yang sama dengan yang dipakai Rindu, hanya saja.... “Nih, yang ori. Kupu-kupu, bukan lebah. HAHAHA.
“Apa sih, kamu mau punya baju samaan kayak aku? Tapi karena orang tua nggak mampu, jadinya beli yang KW? Nih, aku kasih tahu caranya. Sana beli minuman gelasan, minum sampai habis biar enggak mubazir, habis itu lubangin penuh atasnya. Dah, tinggal ngemis di pinggir jalan,” lanjut Mei, lalu tertawa sampai terbahak-bahak.
“Yuk, cabut. Hiburan pagi ini udah cukup." Mereka berlalu.
Rindu memandang punggung mereka yang kian menjauh sambil mengepalkan tangan penuh amarah, lalu menunduk dalam, tetes demi tetes air mata membasahi pipi. Dia ingin mengeluarkan semuanya, tapi tidak mampu. Pada akhirnya, balik lagi, air matalah yang mengkomunikasikan perasaannya. Waktu masih kecil belum bisa bicara, menangis menjadi cara paling mudah untuk berkomunikasi. Sekarang masih sama.
Bedanya, dulu, bukan hati, tapi lutut dan kaki yang terluka saat sedang bersama teman-teman, teman-teman yang polos, teman-teman yang hanya mengenal kawan dan bukan lawan, demikian Mei, Siska, dan Dinda di masa itu. Maksudnya, di masa itu, meski tidak tahu di mana, intinya di suatu tempat, mereka hanya anak kecil, sama dengan Rindu. Tidak ada yang menyangka, mereka tumbuh menjadi penindas kejam.
Karena terlalu lama larut dalam kesedihan, Rindu jadi terlambat setengah jam masuk kelas, dan langsung mendapat tatapan menghujam dari Bu Meta. "Ganggu konsentrasi aja," ucapnya sambil menghela napas.
“Maaf Bu, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”
“Lain kali jangan telat makanya! Apalagi hari ini jadwal kamu piket, harusnya datang lebih pagi, bukan ngaret begini. Nanti jangan langsung pulang. Bersihkan kelas dulu!"
“Lepas jaket kuningmu itu.”
“Tapi, Bu....”
“Peraturan sekolah, nomor tujuh, tidak diperbolehkan memakai jaket tanpa izin. Saya sebagai guru selalu mencontohkan menggunakan baju dinas saat di kelas, tapi kesannya kamu malah sedang bersiap untuk main-main dibandingkan belajar.” Saat Rindu sudah melepas jaketnya, Bu Meta semakin menatapnya tajam. “Apa-apaan itu kemejamu nggak ada kancingnya? Mau berlagak jadi jagoan? Ibu heran, kok bisa guru Matematika bilang orang macam kamu itu siswa berprestasi. Bahkan, saya ragu kamu bisa lolos perguruan tinggi.”
Bu Meta menyuruhnya keluar. Tanpa memberikan pembelaan apa-apa, Rindu keluar, melangkah menjauh dari kumpulan manusia jahat itu. Ya, Rindu menyebutnya jahat. Sebab mereka selalu menertawakannya, tak pernah tertawa bersamanya, bahkan sekali pun.
Bu Meta yang sering membuat Rindu merasa malu dengan menegurnya, atas segala hal dan atas segala kesalahan bahkan sekalipun yang tidak diperbuatnya, tidak lagi bisa memengaruhi perasaannya, seperti terluka atau terhina. Sebab saat hati tersakiti, maka rasa ikut mati. Rindu sudah terlanjur tidak peduli.
Hidupnya seperti terpola. Pagi di sekolah, mereka membuka hari Rindu dengan menarik tas yang dia gendong di pundak seperti tadi. Selama di sekolah, rasanya tidak perlu menjelaskannya, sebab ini adalah bagian paling memuakkan, baik tentang Mei, Siska, dan Dinda atau tentang Bu Meta. Terakhir, pulang sekolah, mereka tidak membiarkannya keluar kelas, menguncinya sendirian di kelas. Saat memberontak, matanya malah disemprot dengan parfum Mei. Itu terjadi terus menerus dan berulang-ulang menjadi pola.
Untungnya, ada satpam yang selalu datang untuk menyalakan lampu. Berkali-kali pak tua itu bertanya ada apa. Berkali-kali juga, Rindu berbohong. “Saya ketiduran di kolong meja, Pak. Kebetulan saya pindah di paling belakang. Jadi teman-teman nggak sadar,” jawabnya sambil nyengir, lalu mengucapkan terima kasih.
Setelah itu, seperti biasa, Rindu mencari sepedanya. Ternyata, kali ini mereka tidak menyembunyikannya. Tetapi mempretelinya, mencopot keranjang, rantai, dan kedua bannya. Katanya, Mei sedang berulang tahun dan ini adalah hadiah dari Siska dan Dinda.
Rindu pergi tanpa membawa sepedanya. Ia memutuskan untuk naik angkot. Setelah sepuluh menit menanti, akhirnya datang juga. Di dalam angkot, ia memilih duduk di pojokan, menyandarkan tubuhnya, kemudian memejamkan matanya. Rindu pergi ke alam lamunannya, tempat ia bahagia. Namun saat merasa bahagia, saat itu pula waktu terasa cepat berlalu.
“Neng?”
“Ya?”
“Ini sudah di pemberhentian terakhir.”
“Oh, maaf, Bang.” Rindu beranjak, lalu turun.
Setelah membayar ongkosnya, Rindu menelusuri trotoar yang lebih sering dipijak kendaraan roda dua itu. Dia tidak tahu mau ke mana atau harus ke mana, tidak tahu mau apa, yang jelas ingin saja melangkah pergi.
Di antara gedung-gedung yang menjulang, mal yang paling menarik perhatiannya. Membuatnya teringat dengan masa lalu. Dulu, Rindu terakhir kali pergi ke tempat macam ini adalah ketika masih bersama ayahnya. Inilah tempat bahagianya terakhir kali. Sempurna sekali menemaninya yang sedang sedih ini.
Akhirnya, Rindu memutuskan untuk pergi ke sana. Rindu berjalan di jembatan penyeberangan karena mal terletak di seberang. Timbul niat dalam dirinya, ingin hanyut lagi dalam lamunannya, supaya ketika lampu merah berubah hijau untuk para pengendara lalu ada kendaraan dari orang-orang yang tak sabaran lewat, ia takkan menyadarinya. Mobil atau motor itu akan langsung menghantam tubuhnya, membawanya ke dimensi lain yang lebih bersahabat daripada di sini.
“Rindu.”
“Ya?” Rindu menoleh. Kiranya dipanggil, ternyata itu seorang pria yang sedang berbicara di telepon dengan kekasihnya. Omong-omong soal kekasih, masih bisakah Rindu mengharapkan hal itu? Hal yang dilakukan kebanyakan remaja lain di usianya. Berhenti bereskepetasi, Rindu.
Rindu pergi ke mal. Seketika ia merasa seperti orang asing. Dia tidak pernah merasakan dinginnya penyejuk udara di pusat perbelanjaan lagi setelah berpisah dengan ayahnya. Rasanya seperti menusuk kulit. Jaket kuning yang ia kenakan tidak mampu menahannya.
Tempat pertama yang dikunjunginya adalah toko kosmetik, mencoba make up tester. Dia memoleskan langsung ke wajah, mata, dan bibir. Walau terdengar sangar berisiko karena sudah bersentuhan dengan puluhan bahkan ratusan pembeli yang datang. Tapi Rindu tidak punya uang, sedang ia ingin orang-orang mengenangnya sebagai gadis yang cantik.
Setelah berdandan gratisan, Rindu berkeliling mencari makanan. Bola-bola ayam krispi berhasil mencuri perhatiannya. Soalnya harganya pas di kantong.
“Tolong satu dibungkus, Bu, yang manis aja. Sebab hidup saya sedang tawar. Ah, tidak. Maaf, ganti jadi yang pedas, yang sepedas hidup.” Tidak lama, pesanannya siap. “Terima kasih. Ini adalah makanan terakhir dalam hidup saya.”
Sebelum si ibu berkata apa-apa, Rindu pergi, agar si ibu tak perlu bertanya, “Ada apa?”
Atap gedung, bola-bola ayam krispi, dan matahari terbenam. Rindu sudah berada di atap gedung pusat perbelanjaan yang dikunjunginya, berdiri di dekat pagar beton yang menjadi pembatas, menghadap ke arah parkiran mal agar tidak banyak orang melihatnya. Ia menikmati jajanan sambil menikmati syahdunya suasana sore, melihat matahari yang terbenam untuk terbit kembali. Seharusnya, matahari terbenam adalah kesempatan untuk Rindu, untuk menghargai hidup. Tapi, ini hidupnya, maka harus keputusannya.
Senja tiba-tiba menghilang. Bukan tiba-tiba, deh. Kan, senja memang selalu seperti ini. Datang hanya sejenak, lalu pergi. Padahal, ia hadir belakangan, tapi pulang paling cepat. Senja persis anak yang malas salat Jumat.
Setelah senja pergi, seperti biasa, tergantikan keremangan malam, menyisakan kehampaan. Rindu menengok jam tangannya. Pukul setengah tujuh malam. Artinya dia sudah bisa mengucapkan selamat malam. Bagi Rindu, ucapan selamat malam adalah ucapan penghargaan untuk seseorang karena telah berhasil melewati harinya.
“Selamat malam, Rindu,” ucapnya sendiri. Penghargaan karena bisa sampai sejauh ini.
Tinggal satu lagi yang perlu dilakukannya. Rindu tidak mungkin pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan pada ibu dan kedua adiknya.
Bu, jangan kaget ya, kalau dengar kabar aku udah nggak ada. Hari ini, aku menyerah dengan penindasan di sekolah. Ibu nggak usah mencari tahu lebih lanjut tentang itu. Aku nggak ingin ibu terlibat dalam masalah. Itu kenapa aku memendam semua sendirian, hanya menuliskannya di buku harian. Sekarang, aku nggak sanggup lagi. Makanya aku memilih untuk mengakhirinya. Sampaikan untuk adik, jangan mudah menyerah agar tidak seperti kakaknya. Untuk Ibu, terima kasih dan maaf. Terima kasih selalu percaya dengan mimpi-mimpiku, menjadi seorang koki dan pengusaha kuliner. Dan maaf, aku nggak bisa mewujudkan itu. Kenyataannya, aku menjadi anak yang gagal. Aku selalu merepotkan bahkan sampai akhir hayat. Selamat malam, Ibu dan adik-adik Kakak.
Tulis Rindu di secarik kertas.
Rindu naik ke pagar beton, berdiri di atasnya, tanpa peduli bahwa yang ia lakukan mencuri perhatian orang-orang di sekitar gedung—bahkan beberapa mulai merekam situasi mencekam ini dengan gawai mereka. Rambut Rindu melambai-lambai seolah mewakili dirinya untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Dari atas sini, semua orang terlihat kecil di bawah. Apakah nanti akan jauh lebih kecil jika aku melihatnya dari dimensi lain? Apakah aku akan benar-benar pergi ke dimensi lain itu?
Dan apakah-apakah lainnya. Memikirkan itu, matanya tanpa sadar berair. Tidak tahu karena angin atau keputusan yang dibuatnya? Dalam hati, ia terus bertanya, benarkah keputusan yang kubuat? Lalu terus menjawab sendiri, lingkunganku tidak mendukung, aku sudah terjebak di dalamnya, tidak bisa keluar dari lingkaran itu, maka jalan satu-satunya adalah aku harus enyah, bukannya begitu?
Sebagian dari dirinya, mengatakan iya. Tapi, sebagiannya lagi ragu, mengatakan tidak. Ia justru bertanya, untuk apa? Tanpa sadar, Rindu masih mencari alasan untuk hidup.
Dan, dia menemukan itu.
Ibu penjual ayam krispi datang bersama empat petugas pemadam kebakaran. Mereka menyiagakan mobil tangga dan bantalan berupa kasur di tanah. Mereka berusaha keras membujuknya. Mereka bersatu untuk menyelamatkan nyawanya. Mereka menginginkannya hidup.
Tetapi, di bawah sana, orang-orang yang mulai membentuk kerumunan bersorak ramai-ramai,
“Dasar cari perhatian! Kalau mau loncat, loncat aja!”
“Lompat, lompat, lompat!”
“Jangan banyak drama, langsung aja!” Seringkali, menantang individu untuk melaksanakan rencana bunuh diri dianggap akan mengurangi pelaksanaan perilakunya. Faktanya, kalimat-kalimat tersebut sesungguhnya tidak mencegah, melainkan menyepelekan niat bunuh diri seseorang. Yang Rindu lihat, mereka menunggunya mati.
“Tunggu sebentar.” Si Ibu penjual ayam krispi mendekat beberapa langkah.
“Jangan mendekat!” Rindu berbalik, menatapnya tajam.
“Baiklah. Dari sini saja.”
Sama seperti para pahlawan berjasa lainnya, dia mencoba melakukan pendekatan dengan obrolan penuh perhatian, mulai dari menanyakan kabar dan menanyakan rencana tentang hari esok.
Rencana tentang hari esok menjadi percakapan terakhir Rindu, sebelum telinganya berdenging. Kepalanya pusing, pusing sekali, seperti melayang. Pandangannya juga mulai kabur. Rindu sesekali memejamkan mata, berusaha untuk tetap berdiri. Namun pada akhirnya, ia pingsan. Beruntung, ia terjatuh di pundak pemadam kebakaran yang segera mendekatinya, bukan di tempat yang tidak diharapkan.
Ketika matanya terbuka, Rindu melihat sudah berada di ruangan serba putih.
“Hai, Sayang... kamu ada di rumah sakit sekarang dan kondisimu baik kata dokter.”
Suara ibu penjual bola-bola ayam krispi yang duduk di samping tempat tidurnya, menyapa Rindu. Mendengar ibu itu berkata demikian, gumpalan air di matanya tiba-tiba menguap. Rindu menangis. Dengan suara lemah dan terbata-bata, ia berkata, “Kenapa?”
Si Ibu menatapnya bertanya.
“Kenapa Ibu malah menyelamatkan saya padahal saya ingin mati?!”
“Astaga! Hei, hei, jangan dilepas jarum infusnya, Nak. Kamu masih belum—“
“Ibu punya hak apa atas hidup saya?!” Setelah jarum infusnya terlepas, Rindu berusaha bangun walau kepalanya masih belum hilang pusingnya, lalu turun dari kasur. Baru saja menginjakkan kaki di lantai, ia hampir tumbang lagi.
Ibu penjual ayam langsung merangkulnya. Sambil membantu Rindu membenarkan posisi berbaring, ibu itu meminta petugas yang berjaga di depan ruangan untuk memanggil dokter.
Rindu terus memberontak. “Daripada hidup tapi kesakitan, mendingan mati sekalian!”
“Berhenti, Nak!” Ibu itu membentaknya. Membuatnya ikut diam. Rindu menunduk karena tidak berani menatapnya. Bagaimanapun, ia tetaplah hanya seorang remaja yang takut pada orang dewasa. Ia lalu menangis semakin hebat. Ia menangis sampai ia tidak bisa lagi mendengar suara tangisannya sendiri. Ya, sebesar itu memang kesedihannya.
“Gapapa, nangis aja,” kata ibu penjual ayam krispi sambil memeluk dan mengusap rambutnya. Dalam pelukan hangatnya, Rindu menumpahkan segala kesedihan yang selama ini dipendam sendirian. “Ibu minta maaf karena membuat kamu ada di sini, tapi mulai hari ini, hidup tidak akan seburuk kemarin. Ibu janji.”
Tidak lama, dokter bersama perawat datang, kembali memasangkan infusnya. Sampai akhirnya, Rindu bisa sedikit tenang. Rindu baru menyadari ternyata si ibu tidak seorang diri di sini, tapi membawa anaknya. Anaknya laki-laki, malu-malu bersembunyi terus di belakang badan si ibu.
“Namanya siapa?”
“Hei, Kakaknya nanya tuh.”
“Damar Wiratama Putra Pertama, Kak.”
Balik lagi ke lima belas tahun kemudian.
Di auditorium, setelah memperkenalkan dirinya, Damar mengajukan pertanyaan kepada Rindu, “Mbak Rindu, kan, panutan banyak orang. Tapi Mbak Rindu sendiri punya tidak sih, sosok yang dijadikan panutan?”
Benar, itu dia, batin Rindu. Selama sepuluh tahun, Rindu selalu mencarinya dan akhirnya hari ini tiba. Rindu selalu mengingat perempuan yang menyelamatkannya dan ingatan itu tertinggal di benaknya, hingga kini.
Rindu tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Damar, “Mbak Belandina Heyatubun. Saya pertama kali melihat di televisi. Dia diundang menjadi bintang tamu di acara itu, sebagai seorang pengusaha sukses di bidang fesyen yang berangkat dari hobinya. Di sana, beliau cerita pertama kali mendirikan usahanya, beliau kesulitan mendapatkan investor karena banyak yang meragukan dirinya, yang merupakan keturunan Papua. Mbak Belandina juga cerita, karena rasnya itu, dia pernah mengalami penindasan di SMA, karena badannya pendek, kulitnya sawo matang, dan rambutnya kribo. Waktu melihat beliau, saya menyadari satu hal yang langsung mengagetkan saya, ‘Loh Mbak itu sama kayak gue dong!’
Saya kaget dan sekaligus bahagia. Titik terberat dalam hidup saya adalah ketika mereka mengolok-olok saya, katanya karena saya pendek, dekil, dan rambut saya keriting. Saya istirahat beberapa hari untuk merenung, meresapi semua makna di balik kenangan pahit yang diberikan Tuhan. Beruntung sekali, ketika berdiam diri itu, saya menemukan siaran ini.
Selama ini, saya hanya mengenal figur publik perempuan sebagai sosok yang harus tinggi, putih, dan rambutnya ikal atau lurus. Tapi, dia berhasil membuktikan bahwa semua perempuan bisa menjadi seperti yang mereka inginkan. Saat itu, kepercayaan diri saya langsung seolah mengucur deras dari langit. Memang terdengar terlalu optimis, namun itulah masa muda.” Rindu tersenyum nostalgia pada Damar.
Tak sabar Rindu mengobrol dengannya. Makanya, setelah Prolog selesai, di atas atap gedung tempat acara dilaksanakan, Rindu langsung menemui Damar.
“Sampaikan pada ibumu, terima kasih sudah menunjukkan respons sebagai orang yang bertanggung jawab. Dalam peristiwa yang tidak terduga, ketika ada anak berumur tujuh belas tahun yang ingin mengakhiri hidupnya, alih-alih mengatakan bahwa masalah yang saya alami tidak seberapa dengan yang akan datang di masa depan. Beliau memilih untuk peduli dan bertindak, memilih menyelamatkan sesama manusia dan tidak membiarkannya sendiri.”
“Ibu saya? Maksudnya, Mbak? Aduh, saya kurang paham. Mbak Rindu, saya sangat mengidolakan Mbak. Tapi, saya nggak mau mengambil kesempatan dalam kebohongan untuk membuat relasi dengan Mbak. Kayaknya Mbak salah orang. Itu Damar yang lain, bukan saya.”
“Ahaha. Wajar kalau kamu lupa. Kamu masih berumur tujuh tahun ketika itu. Hmmm, nama kamu siapa?”
“Damar Wiratama Putra Pertama.”
“Kamu anak pertama? Atau kamu anak laki-laki pertama di keluargamu?”
“Bukan keduanya. Saya anak bontot dan anak laki-laki terakhir.”
“Sekarang, aku semakin yakin kalau aku nggak salah orang. Damar dulu juga jawab begitu waktu aku tanya. Tempatnya di rumah sakit.” Melihat Damar yang mulai mengubah raut wajah, Rindu tersenyum. “Bagaimana? Sudah ingat?”
“Lama tidak berjumpa, Kak Rindu. Senang bertemu lagi sama Kakak. Bagaimana kabar Kakak? Apa Kakak baik-baik aja?” Damar nyengir. Lagi-lagi Rindu tertawa dibuatnya. Damar lanjut bertanya, “Bagaimana kelanjutan setelah itu? Apa Kakak mendapat keadilan?”
“Kupikir kamu sudah mengetahuinya. Banyak media yang mengulik lagi masa laluku. Apalagi, semenjak aku diundang di IC Youthpreneur Camp.”
“Infotainmen terkadang melebih-lebihkan.”
“Hmmm. Baiklah.”
Kelanjutannya?
Rindu tertidur. Ketika membuka mata lagi, Damar dan ibunya sudah tidak ada di ruangan. Wajah Gaharu yang kali ini ada di depan Rindu. Ia langsung tersenyum senang, tapi seketika berubah seperti awan mendung melihat raut muka sedih Gaharu.
“Ibu....”
“Kenapa Rindu nggak pernah cerita sama Ibu?” Gaharu membelai rambut anaknya yang sudah dewasa itu. Ini yang ditakutkan Gaharu. Ketika Rindu dewasa, Rindu memendam semua masalah sendirian. Gaharu merasa sedikit kehilangan sosok kecil yang dulu sangat bergantung padanya. Hatinya ikut terluka, sangat terluka, saat mengetahui anaknya hampir bunuh diri karena menjadi korban penindasan yang dilakukan oleh teman-temannya. Dia sedih dan marah. Dia tidak terima Rindu mendapat perlakuan itu, tentu saja.
“Ibu....” Rindu menangis lagi, entah sudah ke berapa kali untuk waktu satu hari.
“Ibu punya teman psikolog kalau kamu mau cerita. Supaya bisa leluasa, ibu nggak bakal dengarin rahasia kamu deh. Ibu janji.” Namun, Gaharu bukan manusia yang bertindak gegabah. Ia fokus melindungi Rindu terlebih dahulu daripada menghakimi pelaku dan malah berbalik melakukan penindasan kepada anak itu. Apalagi, video percobaan bunuh diri itu viral. Kejadian kemarin seakan membuat semua orang kebakaran jenggot, ada pula yang merasa prihatin. Ada pula yang bereaksi, memberikan komentar seperti,
Di-bully doang udah mau bundir, lemah! Baperan amat jadi orang
Elah, cupu banget sih, lebay lo! Gitu aja pengin mati
Halah, mati aja, cari sensasi lo!
Ada juga yang menyampaikan komentar dengan maksud baik, namun jatuhnya malah salah kaprah. Misalnya,
Pasti kamu nggak dekat sama Tuhan, makanya pengin bunuh diri
Susah sih kalau orangnya, pada dasarnya, ga punya sifat sabar
Kurang ibadah pasti deh!
Satu komentar buruk bisa menenggelamkan sejuta komentar baik. Satu komentar buruk bisa membuat depresi. Satu komentar buruk bisa menyebabkan seseorang ingin bunuh diri. Dan, Gaharu tidak mau itu terjadi lagi pada Rindu, makanya, hal pertama yang dilakukannya adalah melindungi Rindu.
Tetapi tetap, Gaharu tetap mencari keadilan. Setelah Rindu keluar dari rumah sakit, dipertemukanlah Rindu, Mei, Siska, Dinda, orang tua mereka, dan Bu Meta di sekolah untuk menyelesaikan masalah.
Pihak yang pro Rindu, menginginkan Mei, Siska, dan Dinda dikeluarkan dari sekolah agar bisa mendapatkan efek jera, sekaligus sebagai hukuman atas perbuatan mereka. Begitu yang mereka bilang.
Sementara itu, pihak lain bilang, seharusnya tidak sampai dikeluarkan dari sekolah. Sebab dikeluarkan dari sekolah belum tentu membuat jera, justru menimbulkan masalah baru. Bagi yang berasal dari keluarga kaya kaya, bisa jadi menyepelekan, santai-santai saja. Dianggapnya selama masih ada uang, pasti akan mudah mendapatkan sekolah. Bagi yang miskin, sekolah mana yang mau menerima mereka? Mereka akan kesulitan diterima. Padahal, mereka membutuhkan pendidikan, terutama untuk memperbaiki karakter mereka, dan mereka berhak untuk itu. Mereka juga remaja, juga punya masa depan.
“Pelaku penindasan selalu ditempatkan sebagai penjahat. Padahal mungkin mereka pernah menjadi korban. Ada cerita yang perlu dipahami dari pelaku di balik perbuatannya. Pernahkah kita memikirkan bagaimana perasaan dan kisah panjang di balik pelaku penindasan?” Bu Meta bersuara di tengah dua kubu yang saling ribut.
Ternyata, Bu Meta dulu pelaku penindasan. Tetapi, sebelumnya ia merupakan korban, korban dari perundungan yang berkepanjangan. Bermula dari menolong seorang teman, ia justru menjadi target selanjutnya. Sehingga, berperilaku agresif adalah satu-satunya cara untuk melindungi diri. Ia merasa kesal, marah, hingga keinginan untuk balas dendam. Akhirnya, ia menjelma pelaku penindasan.
Itulah kenapa, Rindu didorong dia untuk melawan penindasan sendirian, tanpa melibatkan siapa pun. Ia tidak mau ada orang lain yang jadi bernasib sama dengan dirinya. Dan itulah kenapa, ia memaklumi Mei.
Di pertemuan ini, ada polisi juga. Polisi melibatkan psikolog yang akan mendampingi para remaja di bawah umur itu. Katanya, dalam penanganan kasus penindasan di sekolah, psikolog itu satu paket, sehingga akan mengetahui penyebab pelaku melakukannya. Dan, benar saja, Mei mau bercerita.
Mei adalah korban penindasan secara tidak langsung. Ia diberikan tuntutan tidak masuk akal. Ia harus menjadi sempurna. Dalam akademi, patokannya adalah Rindu. Kalau bicara soal ini, Mei mungkin berada di paling bawah dan Rindu nomor satu. Sebab ia lebih menyukai dunia kecantikan, tata rias. Potensinya ada di sana. Tapi Mama Papa Mei tidak tahu itu. Mereka tidak pernah bertanya. Waktu mendapat peringkat terakhir, mereka bilang, harusnya dengan kenikmatan yang dimilikinya, ia tidak kalah. Apalagi, kalahnya oleh anak pedagang tahu kaki lima.
Di sekolah juga sama, bahkan proses membanding-bandingkan lebih kuat. Beberapa guru memiliki anak emas yang sering dijadikan patokan kesuksesan untuk siswa yang lain. Di setiap jenjang selalu ada, seolah hal itu digeneralisasi, baik di SD, SMP, maupun SMA. Bu Meta, awalnya ia termasuk seperti guru matematika yang selalu memuji Rindu, namun kemudian menyadari. Makanya, ia mengubah sikap pada Rindu.
Karena terus-menerus dibandingkan, lama-kelamaan melahirkan rasa iri, yang kalau mengendap terlalu lama, bisa membuat membenci tanpa alasan. Selain membenci orang-orang yang membandingkannya, ia juga membenci teman yang dijadikan pembandingnya. Cara tersimpel lari dari masalah, menurut anak, adalah mencari pelarian. Sayangnya, pelariannya tidak selalu positif. Dalam hal ini, Mei menindas Rindu.
Jadi, siapa yang patut disalahkan dalam penindasan ini?
Sampai lima belas tahun kemudian, Rindu masih belum tahu jawaban dari pertanyaan itu. Oh iya, penindasan itu selesai dengan Mei, Siska, dan Dinda yang dipindahkan ke sekolah lain sembari diganjar sanksi berupa terapi perilaku. Sementara Bu Meta dimutasi ke luar Dinas Pendidikan.
Rindu menyudahi ceritanya.
“Mbak memaafkan mereka?” tanya Damar.
“Saya memaafkan, tapi untuk melupakan, tidak. Bukan karena tidak mau, tapi tidak bisa.”